Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama dan Sifat Allah (2)KAIDAH KEDUA: Ketentuan yang berkaitan dengan Nama-Nama Allah 'Azza wa Jalla.
1. Seluruh Asmaa' Allah pasti husna.
Asmaa' adalah bentuk jamak dari kata 'ism' yang berarti nama dari dzat yang memiliki nama dan sifat. Nama-Nama Allah adalah nama-nama yang paling mulia, yang Allah menamai Diri-Nya dengan nama-nama tersebut atau nama yang ditetapkan oleh Nabi-Nya shallallaahu 'alaihi wa sallam.
Husna adalah bentuk mu'annats (lafazh berjenis wanita) dari kata 'ahsan' (paling bagus) bukan bentuk mu'annats dari kata 'hasan'. Sepadan dengan 'kubro' (bentuk mu'annats dari 'akbar') dan 'mutsla' (bentuk mu'annats dari 'amtsal'). Nama- Nama Allah adalah husna artinya mencapai puncak kesempurnaan dan keindahan. Allah Ta'ala berfirman, "Hanya milik Allah Asmaa'ul Husna/Nama-Nama yang paling indah..." (QS. Al A'raaf: 180). Hal itu dikarenakan Nama-Nama Allah mengandung sifat-sifat kesempurnaan yang tidak terdapat sedikitpun kekurangan padanya dari sisi manapun, baik dari sisi ihtimal (kemungkinan asal makna lafazh) atau dari sisi taqdir (penetapan makna pelengkap yang muncul dari hasil terkaan dalam pikiran pendengar).
Semua Nama Allah menunjukkan sanjungan dan pujian bukan sekedar label/merek. Akan tetapi Nama Allah berlaku sebagai nama yang sekaligus mengandung sifat. Allah yang Maha Suci lagi Maha Tinggi telah memerintahkan hamba-hamba-Nya supaya mereka berdo'a kepada-Nya dengan perantara menyebut Nama-Nama-Nya.
Diantara keindahan yang ditunjukkan oleh Asmaa' Allah adalah setiap Nama dari Nama- Nama-Nya mengandung sifat yang mencakup seluruh maknanya yang muncul dari nama tersebut. Contohnya adalah Nama Allah Al 'Aliim (yang Maha Mengetahui) sebagaimana terdapat dalam firman Allah Ta'ala, "Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui/'aliim lagi Maha Bijaksana/hakiim." (QS. Al Insaan: 30). Maka dari ayat ini diketahui bahwa Al 'Aliim merupakan salah satu Nama Allah Ta'ala, yang mengandung makna ilmu yang sempurna; ilmu yang meliputi segala sesuatu secara global dan terperinci, ilmu yang tidak diawali dengan kebodohan, ilmu yang tidak ditimpa kelupaan. Sehingga tidak ada makhluk sekecil apapun di bumi maupun di langit yang tidak diketahui-Nya.
Faidah:
Dengan memahami kaidah ini kita bisa mengetahui letak kekeliruan Imam Ibnu Hazm dan orang-orang berpemahaman zhahiriyah/tekstualis yang sejalan dengan beliau ketika mereka menetapkan Ad Dahr (artinya 'masa') sebagai salah satu Nama Allah Ta'ala. Sebab Ad Dahr adalah ism jamid/kata beku (bukan musytaq/pecahan) yang tidak mengandung sifat sama sekali. Ad Dahr hanya sebuah nama yang tidak ada keindahan sama sekali di dalamnya. Adapun hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang terdapat di dalam Ash Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim) yang memberitakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Anak Adam telah menyakiti-Ku karena dia mencaci masa (Ad Dahr). Padahal Aku adalah Ad Dahr; semua urusan ada di Tangan-Ku, Akulah yang membolak-balikkan waktu siang dan malam." Hadits ini tidaklah menunjukkan penetapan Ad Dahr sebagai salah satu Nama Allah Ta'ala, ini didukung dengan alasan kuat yang bisa diketahui dari dua sisi argumentasi:
1. Firman Allah Ta'ala yang menyebutkan, "Padahal Aku adalah Ad Dahr" telah dijelaskan maksudnya oleh firman-Nya, "Semua urusan ada di Tangan- Ku, Akulah yang membolak- balikkan waktu siang dan malam." Allah Subhanahu wa Ta'ala menerangkan bahwa semua urusan ditangan-Nya, Dia-lah yang mengatur silih bergantinya waktu siang dan malam. Sedangkan pergantian siang dan malam itulah yang disebut dengan Ad Dahr/masa. Karena kalau tidak dipahami demikian pastilah perkataan kaum Dahriyyiin dibenarkan oleh Allah, mereka berkata, "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain Ad Dahr/masa." (QS. Al Jaatsiyah: 24). Akan tetapi ternyata Allah mendustakan perkataan mereka. Allah berfirman, "Mereka tidaklah memiliki ilmu tentang apa yang mereka ucapkan, hanyasanya mereka berprasangka (yang tidak ada buktinya-pent)."
2. Firman Allah Ta'ala, "Aku-lah yang membolak-balikkan waktu siang dan malam." Di dalamnya terkandung penetapan objek yang dibolak-balikkan (muqallab- dengan fathah pada huruf lam) dan penetapan subjek yang membolak-balikkan (muqallib- dengan kasrah pada huruf lam). Mustahil kalau objek yang dibolak-balikkan (muqallab) itu juga sekaligus subjek yang membolak-balikkan (muqallib). Padahal siang dan malam adalah makna dari Ad Dahr sebagaimana disebutkan dalam surat Al Jaatsiyah di atas (ketika Allah mendustakan perkataan kaum Dahriyyin-pent).
2. Asmaa' Allah tidak dibatasi oleh jumlah bilangan tertentu.
Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya dan dibawakan juga oleh imam ahli hadits selain beliau dari jalur Ibnu Mas'ud. Di dalam hadits tersebut Nabi berdo'a, "Hamba memohon kepada-Mu dengan perantara seluruh Nama yang Engkau namai Diri-mu dengannya, Nama yang Engkau turunkan di dalam Kitab- Mu, Nama yang Engkau ajarkan kepada salah satu diantara makhluk-Mu dan juga Nama yang Engkau sembunyikan pengetahuannya dalam ilmu ghaib di sisi-Mu." Adapun Nama yang disembunyikan ilmunya oleh Allah di sisi-Nya maka tidak ada seorangpun yang bisa mengetahuinya. Begitu pula Nama yang diajarkan-Nya kepada sebagian golongan di antara makhluk-Nya, bisa jadi golongan yang lain tidak mengetahuinya.
Inilah pemahaman yang dipegang oleh jumhur/mayoritas ulama' bahwa Nama Allah tidak dibatasi jumlah bilangan tertentu, sebagaimana dinukil oleh Imam Ibnu Hajar di dalam kitabnya Fathul Baari. Sebagian ulama' diantaranya Imam Ibnu Hazm telah menyelisihi pemahaman mereka. Beliau berpendapat adanya pembatasan jumlah Nama Allah beralasan dengan hadits Abu Hurairah yang terdapat dalam Ash Shahihain. Di dalam hadits tersebut Nabi bersabda, "Sesungguhnya Allah memiliki 99 Nama -seratus kurang satu- yang apabila seseorang menjaganya niscaya dia masuk Surga."
Ibnu Hazm -semoga Allah mengampuni kesalahan beliau- beralasan, "Seandainya Allah memiliki Nama selain 99 Nama sebagaimana dinyatakan dalam hadits ini maka perkataan Nabi 'seratus kurang satu' menjadi perkataan yang tidak ada gunanya..." Sedangkan Jumhur ulama' berpendapat tidak adanya pembatasan jumlah Nama Allah. Mereka memahami pembatasan yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah itu terkait erat dengan janji balasan yang akan diperoleh orang yang menjaganya Nama-Nama tersebut, sehingga kalimat "apabila seseorang menjaganya" menjadi penyempurna yang erat kaitannya dengan kalimat sebelumnya.
Imam Nawawi -semoga Allah merahmati beliau- menjelaskan, Hadits ini bukanlah dalil pembatasan jumlah Nama Allah Ta'ala, hadits ini juga tidak menunjukkan bahwa Allah tidak memiliki Nama selain Nama yang jumlahnya 99 . Sesungguhnya maksud dari hadits adalah barangsiapa menjaga 99 Nama ini niscaya dia masuk Surga. Ini adalah kabar yang memberitakan bahwa orang yang menjaganya (melakukan ihsho') Nama-Nama itu akan mendapat balasan masuk surga, sehingga hadits tersebut bukan memberitakan pembatasan jumlah Nama.
Al 'Allamah Al Utsaimin memberikan sebuah ungkapan untuk menggambarkan maksud hadits ini dengan kalimat yang hampir mirip. Beliau memberikan contoh, jika anda mengatakan: "Saya punya uang 100 dirham yang saya persiapkan untuk shadaqah." Dari kalimat ini, tidak menutup kemungkinan kalau anda masih mempunyai uang selain jumlah itu.
Kata-kata "apabila seseorang menjaganya" merupakan dalil yang menunjukkan bahwa Nama- Nama itu sesuatu yang diketahui. Sedangkan kata-kata "Nama yang Engkau sembunyikan ilmunya dalam ilmu ghaib di sisi- Mu" merupakan dalil yang menunjukkan bahwa ada sebagian di antara Nama-Nama Allah yang tidak bisa kita ketahui. Dengan dasar dua ungkapan hadits ini disimpulkan bahwa jumlah Nama Allah lebih dari sembilan puluh sembilan.
Faidah:
Sabda Nabi shallaahu 'alaihi wa sallam, "apabila seseorang menjaganya" merupakan dalil bahwa Nama-Nama tersebut bisa diketahui. Dan jika anda telah mengerti bahwasanya tidak ada riwayat yang sah mengenai perincian Nama-Nama yang dimaksud (sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari), lalu bagaimana mungkin seseorang yang ingin mendapatkan keutamaan tersebut dapat meraihnya sementara untuk menjaganya Nama-Nama Allah tidak terdapat perincian Nama- Nama yang dimaksud?
Para ulama' memberikan 2 jawaban atas pertanyaan ini:
Ketidaktahuan orang yang berdo'a terhadap rincian Nama- Nama Allah yang dimaksud dalam hadits akan mendorong dia untuk terus menerus berdo'a dengan menyertakan seluruh Nama Allah yang sah dalilnya dengan harapan bisa menepati Nama-Nama tertentu yang dikhususkan oleh hadits tersebut. Jawaban ini serupa dengan alasan mengapa Allah menyembunyikan waktu turunnya Lailatul Qadar.
Alif lam ta'rif (pada kata al asmaa') dalam firman Allah, "Dan hanya milik Allah Al Asmaa'ul Husna maka berdo'alah kalian dengan perantara menyebutkannya", berfungsi untuk 'ahd (menyebutkan makna yang sudah dipahami maksudnya oleh pendengar dan pembicara- pent). Dengan begitu pasti ada ma'huud-nya (objek yang dimaksud dalam konteks pembicaraan-pent) karena Allah memerintahkan kita untuk berdo'a dengan menyebutkan Nama-Nama itu. Sehingga Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, "Saya berpendapat Al Hawaalah (mencari Nama Allah yang ada dalam cakupan) Al Qur'an itulah yang lebih mendekati kebenaran."
Al Hafizh Ibnu Hajar beserta beberapa ulama' yang lain menerangkan maksud dari sabda Nabi tentang ihsho'/ menjaga Nama Allah dengan beragam penjelasan. Maka silakan anda merujuk kepada kitab Fathul Baari ketika Ibnu Hajar membahas syarah/keterangan hadits nomor 6410.
3. Nama-Nama Allah tidak boleh ditetapkan dengan akal akan tetapi harus dengan dalil syar'i.
Ini berarti Nama-Nama Allah adalah perkara tauqifi (penetapannya membutuhkan dalil syar'i-pent) yang penetapannya bersumber dari Al Kitab dan As Sunnah. Dalam memahami maksud penetapan Nama ini terdapat perbedaan pendapat:
Nama-Nama Allah adalah tauqifi, yang dibatasi dengan Nama- Nama yang tercantum dalam Al Kitab dan As Sunnah saja.
Nama-Nama tersebut diambil dari dalil Al Kitab, As Sunnah dan Ijma' sedangkan Qiyas tidak boleh digunakan.
Penetapan Nama-Nama Allah adalah perkara tauqifi sedangkan penetapan Sifat-Nya tidak termasuk perkara tauqifi.
Apabila akal menunjukkan suatu makna lafazh bisa ditetapkan ada pada Diri Allah maka Nama tersebut boleh disandarkan kepada Allah. Ini adalah pendapat kaum Mu'tazilah dan Karraamiyah.
Diantara beragam pendapat tersebut pendapat pertamalah yang paling kuat. Sedangkan akal sekedar berfungsi sebagai sarana untuk mengetahui layak atau tidaknya suatu Nama disandarkan kepada Allah. Allah Ta'ala berfirman, "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu semua pasti dimintai pertangungjawabnya." (QS. Al Israa': 36)
Nama-Nama Allah hanya bisa diketahui melalui jalan mendengar (ayat atau hadits- pent) bukan dari hasil pemikiran atau olah rasio. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalur 'Aisyah Ibunda kaum mukminin radhiyallahu ta'ala 'anha, Nabi bersabda, "Maha Suci Engkau (Ya Allah) hamba tidak mampu menyempurnakan ats tsanaa'/sanjungan terhadap-Mu sebagaimana sanjungan yang Engkau tujukan kepada Diri-Mu sendiri." Sedangkan tasmiyah/penamaan (terhadap Allah-pent) termasuk dalam cakupan tsanaa'/sanjungan (sehingga jumlah Nama Allah tidak terhitung sebagaimana Nabi tidak dapat menyempurnakan sanjungan terhadap Allah-pent). Hal ini sebagaimana kita tidak diperbolehkan memberi nama Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam menggunakan nama yang bukan berasal dari pemberian nama oleh keluarga beliau, maka terhadap Allah Rabbul 'Izzah tentu tindakan menamai-Nya dengan nama yang Dia sendiri tidak menamakan Diri-Nya dengannya lebih tidak pantas untuk dilakukan.
Oleh karena itulah penetapan Nama Allah tidak boleh berdasarkan akal semata. Kalau kita melakukan penambahan nama selain Nama-Nama yang telah disebutkan-Nya bagi Diri- Nya sendiri maka kita telah terjerumus dalam pembicaraan mengenai Allah tanpa landasan ilmu. Dan apabila kita justru menyembunyikan Nama-Nama yang sudah disebutkan-Nya maka hal ini termasuk tindakan penentangan dan penolakan. Karena Allah berhak menamai Diri-Nya dengan nama apa saja yang disukai-Nya. Sehingga tindakan menambah-nambahi atau menyembunyikan Nama Allah tergolong tindakan yang sangat jelek.
Faidah:
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan di dalam kitabnya Badaai'ul Fawaa'id: "Segala sesuatu yang disandarkan kepada Allah dalam permasalahan Asmaa' dan Sifat adalah perkara tauqifi. Adapun penyandaran dalam bentuk berita tentang Allah bukan perkara tauqifi, contohnya memberitakan Allah sebagai Asy Syai' (Sesuatu), Allah Maujud (ada), Qadiim (terdahulu), dan lain sebagainya. Kaidah inilah yang dikenal oleh ahli ilmu dengan ungkapan, "Cakupan penetapan berita lebih luas daripada penetapan Nama." Jika anda menetapkan Nama dari semua Sifat Allah yang tercantum di dalam Al Kitab maupun As Sunnah sebagai pemberitaan tentang Nama-Nya seperti Al Jaa'i (yang datang), Al Aakhidz (yang menyiksa), Al Mumsik (yang menahan), Al Muriid (yang berkehendak), An Naazil (yang turun)... maka Allah Ta'ala tidak boleh dinamai dengan nama-nama tersebut tetapi kita diperbolehkan memberitakan bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersebut."
4. Setiap Nama Allah pasti menunjukkan keberadaan Dzat Allah, Sifat yang terkandung dalam Nama tersebut, serta atsar/pengaruh yang timbul dari Nama tersebut apabila ia termasuk kata yang butuh objek/muta'addi.
Syaikh Salman menjelaskan di dalam Al Kawaasyif Al Jaaliyah:
Dalam mengimani Asmaa' dan Sifat Allah harus terpenuhi 3 rukun:
Beriman dengan Nama tersebut.
Beriman dengan makna/sifat yang terkandung di dalamnya.
Beriman dengan atsar yang timbul dari Nama tersebut.
Syaikh Al Utsaimin -semoga Allah Ta'ala merahmati beliau- (memberikan ungkapan yang sedikit berbeda untuk rukun yang ketiga-pent) di dalam kitabnya Al Qawaa'idul Mutsla beliau menggunakan ungkapan "Menetapkan hukum dan konsekuensi Nama-Nama Allah" sebagai pengganti ungkapan "atsar yang timbul". Akan tetapi perbedaan ini tidak perlu dipermasalahkan karena maksud dari penetapan hukum (yang dikatakan oleh Syaikh Utsaimin - pent) sama artinya dengan menyandarkan Sifat kepada sasaran-sasarannya dimana tampaknya objek/sasaran itu merupakan konsekuensi logis dari penetapan Sifat. Seperti menyandarkan ilmu terhadap objek yang diilmui -dimana dengan sebab Sifat ilmu- segala sesuatu tersebut bisa diketahui (oleh Allah-pent). Rukun ketiga ini berlaku apabila Nama itu menunjukkan kepada sifat yang butuh objek/muta'addi.
Sedangkan apabila Nama tersebut tidak menunjukkan sifat yang muta'addi maka kewajiban kita adalah mengimani Nama itu yang sekaligus menunjukkan keberadaan Dzat Ilahiyah serta mengimani makna (sifat) yang terkandung di dalamnya. Pada penjelasan di depan telah dipaparkan bahwa Nama Allah bukan sekedar label/merek akan tetapi ia merupakan Nama yang paling indah. Dan salah satu bentuk keindahan tersebut ialah bahwasanya Nama Allah itu menjadi Nama sekaligus Sifat.
Contoh dari penjelasan ini:
Nama Allah yang menunjukkan sifat muta'addi/butuh objek:Seperti Al Qayyuum, Ar Rahiim, Al Kariim, At Tawwaab, Al Qadiir dan Al 'Aliim. Ar Rahiim (Yang Maha Penyayang) kita tetapkan sebagai Nama Allah 'Azza wa Jalla yang menunjukkan keberadaan Dzat Allah dan kita juga menetapkan Sifat Rahmah/kasih sayang sebagai salah satu sifat yang dimiliki oleh Allah Ta'ala. Selain itu kita juga menetapkan bahwasanya Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya, dan inilah yang disebut dengan atsar.
Nama Allah yang menunjukkan sifat yang tidak muta'addi: Seperti Al Awwal, Al Aakhir, Azh Zhaahir, Ar Rahmaan, Al 'Aali, Al Hayyu dan Al 'Azhim. Al 'Aali (Yang Maha Tinggi) kita tetapkan sebagai Nama Allah 'Azza wa Jalla yang menunjukkan keberadaan Dzat Allah dan kita juga menetapkan Sifat Al 'Uluww/Tinggi sebagai sifat bagi- Nya.
-bersambung insya Allah-
***
Diterjemahkan dari Al Is'aad fii Syarhi Lum'atil I'tiqaad karya Syaikh Abdur Razzaaq bin Musa Al Jazaa'iri, oleh Abu Muslih Ari Wahyudi
Dipublikasikan oleh www.muslim.or.id
KAIDAH KETIGA: Kaidah tentang Sifat-Sifat Allah 'Azza wa Jalla.
1. Seluruh Sifat Allah adalah tinggi, penuh dengan kesempurnaan dan sanjungan.
Allah Ta'ala berfirman, "Dan hanya kepunyaan Allah-lah matsalul a'la (Sifat yang Maha Tinggi)." (QS. An Nahl: 60). Yang dimaksud matsalul a'la/Sifat-Sifat yang paling tinggi adalah sifat yang paling sempurna. Di dalam kaidah bahasa Arab mendahulukan ungkapan yang seharusnya ditaruh di belakang (yaitu Lillaahi-Hanya kepunyaan Allah-pent) memiliki fungsi pembatasan dan pengkhususan. Sehingga seolah-olah Allah Ta'ala membatasi sifat-sifat yang paling sempurna itu hanya ada pada- Nya dan Dia Mengistimewakan Sifat tersebut khusus bagi Diri- Nya, inilah gaya bahasa Al Qur'an yang sangat indah!!
Rabb Sesembahan yang berhak menerima peribadahan pasti memiliki Sifat-Sifat yang kesempurnaan-Nya mencapai puncak tertinggi diantara segala macam sifat kesempurnaan. Sebagaimana Allah telah menunjukkan kebatilan penyembahan terhadap berhala- berhala dengan cara mensifati mereka dengan sifat-sifat yang penuh kekurangan. Allah Ta'ala berfirman, "Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi madharat kepada kamu?" (QS. Al Anbiyaa': 66). Allah Ta'ala berfirman, "Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (do'a)nya sampai hari kiamat dan mereka (sesembahan selain Allah-pent) lalai dari (memperhatikan) do'a mereka." (QS. Al Ahqaaf: 5). Allah mensifati berhala-berhala itu dengan ketidakmampuan mereka dalam memberikan manfaat dan menimpakan madharat, serta ketidakmampuan mereka mengabulkan permintaan dan justru lalai dari do'a yang mereka serukan.
Semua Sifat Allah adalah sifat kesempurnaan. Dalam penetapannya, sifat terbagi menjadi beberapa bagian:
Sifat yang menunjukkan kesempurnaan secara mutlak. Sifat semacam ini ditetapkan pasti dipunyai oleh Allah 'Azza wa Jalla.
Sifat yang menunjukkan kekurangan secara mutlak. Sifat semacam ini tidak mungkin dipunyai oleh Allah Ta'ala.
Sifat yang apabila ditinjau dari suatu keadaan menunjukkan kesempurnaan dan apabila ditinjau dari keadaan yang lain justru menunjukkan kekurangan. Sifat semacam ini dinisbatkan kepada Allah dengan diiringi taqyid/ikatan makna dalam rangka menampakkan Kekuasaan Allah membalas dengan jenis balasan yang serupa dengan perbuatan jahat yang dilakukan oleh manusia, maka dalam konteks seperti ini sifat tersebut menjadi sifat kesempurnaan. Sifat yang semacam ini misalnya Al Makr (makar), Al Khidaa' (tipu daya), Istihzaa' (Mengolok-olok) dan Al Kaid (memperdaya). Terhadap sifat-sifat semacam ini kita katakan, Allah berkuasa membalas makar para pembuat makar, Allah mampu membalas tipu daya para pembuat tipu daya,... sehingga kita tidak boleh mensifati Allah dengan sifat makar dan tipu daya, akan tetapi kita juga tidak diperbolehkan menolaknya namun sifat semacam ini hanya boleh ditetapkan (dengan diiringi taqyid/ikatan makna-pent) dalam konteks pembalasan.
Faidah:
Apakah semua sifat kesempurnaan yang disandang oleh Allah Ta'ala juga menjadi sifat kesempurnaan jika disandang oleh makhluk? Dan apakah semua sifat kekurangan yang tidak boleh dinisbatkan kepada Allah juga menjadi sifat kekurangan jika disandang oleh makhluk?
Jawabnya:
Tidaklah demikian. Contohnya sifat takabbur/sombong adalah sifat kesempurnaan Allah 'Azza wa Jalla. Namun sifat ini justru akan menjadi cela apabila dipunyai oleh makhluk. Contoh lainnya : makan, minum, menikah adalah sifat kesempurnaan pada diri makhluk akan tetapi sifat tersebut berubah menjadi cela apabila dinisbatkan kepada Diri Allah Ta'ala. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban kita menetapkan kesempurnaan secara mutlak terhadap Diri Allah Ta'ala. Serta kita wajib mensucikan-Nya dari cela secara mutlak.
2 . Sifat-Sifat Allah terbagi 2: Sifat Tsubutiyah dan Sifat Salbiyah.
Sifat-Sifat Allah 'Azza wa Jalla yang disebutkan di dalam nash- nash Al Kitab dan As Sunnah ada 2 macam yaitu:
Sifat Tsubutiyah: seluruh Sifat yang ditetapkan oleh Allah 'Azza wa Jalla bagi Diri-Nya sendiri. Atau Sifat Allah yang ditetapkan oleh Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini merupakan sifat kesempurnaan dan sanjungan bagi Allah seperti contohnya pengetahuan (al 'ilmu), pendengaran (as sam'u), kekuasaan (al qudrah), berbicara (al kalaam), bersemayam (istiwa'), turun (nuzul), dua tangan (yadain)... dst. Sifat-sifat ini semuanya kita tetapkan sesuai dengan hakikatnya yang layak bagi Allah 'Azza wa Jalla.
Sifat Salbiyah: Sifat yang ditiadakan dari Diri Allah oleh Allah Ta'ala sendiri atau ditiadakan oleh Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Semua sifat yang ditiadakan ini adalah sifat kekurangan/cela, contohnya kematian (al maut), bodoh (al jahl) dan lemah (al 'ajz) dst.
Ketahuilah saudaraku -semoga Allah merahmati aku dan kamu- bahwa kita tidak diperbolehkan mensifati Allah Ta'ala dengan peniadaan semata sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlu bida' wal ahwaa' (para penyeru bid'ah dan pengekor hawa nafsu-pent) yang telah mensifati Allah dengan semata-mata peniadaan. Perbuatan mereka itu bukanlah sanjungan bagi Allah, ini didasari 3 alasan yang disebutkan oleh Syaikh Al Utsaimin rahimahullahu Ta'ala dalam Al Qawaa'idul Mutsla. Beliau menerangkan:
Peniadaan semata menunjukkan tidak adanya sesuatu. Sedangkan sesuatu yang tidak ada bukanlah apa-apa, sehingga dia tidak bisa disebut sempurna.
Peniadaan suatu perkara terkadang terjadi karena memang sesuatu yang disifati tidak bisa menerima pensifatan tersebut. Seperti jika anda berkata, "Tembok itu tidak berbuat zhalim." Pensifatan semacam ini tidaklah menunjukkan kesempurnaan.
Peniadaan sesuatu bisa jadi karena ketidakmampuan yang ada pada sosok yang disifati. Peniadaan semacam ini bahkan menunjukkan kekurangan.
Oleh karena itulah dalam meniadakan sifat dari Diri Allah harus terkandung 2 perkara: Pertama, menolak sifat itu dipunyai oleh Allah Ta'ala dan Kedua, menetapkan lawan dari sifat itu sebagai bukti kesempurnaan Allah Ta'ala.
Contohnya sifat Al 'Ajz/lemah, Allah Ta'ala berfirman, "Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi." (QS. Faathir: 44). Berdasarkan ayat ini kita menolak keberadaan sifat lemah pada Diri Allah Ta'ala dan juga kita harus menetapkan kesempurnaan sifat lawannya yaitu ilmu dan qudrah yang Maha sempurna. Contoh yang lain sifat Zhulm/aniaya, Allah Ta'ala berfirman, "Dan Tuhanmu tidak menganiaya/menzhalimi seorang juapun." (QS. Al Kahfi: 49). Berdasarkan ayat ini kita menolak sifat zhulm/aniaya ada pada Diri Allah lalu kita tetapkan kesempurnaan lawannya yaitu keadilan Allah yang Maha sempurna.
3 . Sifat Tsubutiyah terbagi 2: Sifat Dzatiyah dan Sifat Fi'liyah.
Sifat-Sifat Allah Ta'ala yang ditetapkan bagi-Nya di dalam Al Kitab dan As Sunnah bisa dibagi menjadi dua:
A. Sifat Dzatiyah
Yaitu sifat yang senantiasa melekat pada Diri Allah, Sifat- Sifat yang tidak terpisahkan dari Dzat Ilahiyah. Sifat Dzatiyah ini pun terbagi 2 bila dilihat dari kandungan isinya:
A1. Sifat Dzatiyah Ma'nawiyah
Yaitu sifat yang menunjukkan kepada sesuatu yang maknawi seperti Hidup (al hayat), Mampu (qudrah), Bijaksana (hikmah), Mengetahui (al 'ilmu) dst.
A2. Sifat Dzatiyah Khabariyah
Yaitu Sifat-Sifat Allah yang padanan namanya pada makhluk merupakan bagian dan anggota badan, seperti dua Tangan, Wajah, Kaki, Betis dan lain sebagainya.
B. Sifat Fi'liyah
Yaitu Sifat-Sifat yang kemunculannya berkaitan erat dengan Kehendak Allah. Sifat semacam ini terbagi menjadi dua berdasarkan sebab yang terkait dengannya:
Sifat Allah yang sebabnya kita ketahui, seperti sifat Ridha.
Sifat Allah yang tidak memiliki sebab yang diketahui, seperti sifat Istiwa'/bersemayam.
Faidah:
Diantara Sifat-Sifat Allah ada Sifat yang menjadi Sifat Dzatiyah sekaligus juga sebagai Sifat Fi'liyah berdasarkan dua sudut pandang tersebut, contohnya sifat Al Kalaam/berbicara. Sifat berbicara ini termasuk Sifat Dzatiyah bila ditinjau dari asal keberadaannya, artinya Dzat Allah pasti sanggup berbicara. Sedangkan jika ditinjau dari satu demi satu peristiwa terjadinya pembicaraan maka Sifat ini termasuk Sifat Fi'liyah, artinya Allah Ta'ala dapat berbicara kapanpun Dia kehendaki.
4 . Setiap Sifat Allah dihadapkan pada 3 pertanyaan.
Apakah sifat tersebut hakiki? Apa alasannya?
Bolehkah melakukan takyif terhadap Sifat tersebut? Kenapa?
Apakah Sifat Allah serupa dengan sifat makhluk? Kenapa?
Jawaban terhadap pertanyan- pertanyaan ini adalah:
Ya, Sifat-Sifat Allah adalah sesuatu yang hakiki. Karena hukum asal dalam penggunaan lafazh itu ialah memaknainya secara hakiki yang bisa langsung dipahami dan dapat dilihat dari lafazh tersebut.
Tidak boleh melakukan takyif terhadap Sifat Allah, karena kita tidak mengetahui kaifiyah Dzat Allah demikian pula kita tidak bisa mengetahui kaifiyah Sifat- Sifat-Nya. Hal itu disebabkan perbincangan masalah Sifat serupa dengan perbincangan masalah Dzat.
Sifat-Sifat Allah Ta'ala tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Tiada sesuatu pun yang serupa dengan Dia." (QS. Asy Syuura: 11). Makhluk adalah dzat yang penuh dengan kekurangan bagaimana mungkin bisa serupa dengan Rabb yang Maha sempurna?
Beberapa Faidah Yang Bisa Dipetik
Faidah Pertama:
Takyif adalah menyebutkan kaifiyah Sifat Allah tanpa mengaitkannya dengan bentuk tertentu yang namanya serupa. Contohnya jika anda mengatakan, "Aku punya buku yang sifatnya demikian dan demikian." Kalau perkataan ini anda teruskan dengan ungkapan, "(Bukuku) seperti bukumu", maka inilah yang disebut dengan tamtsil. Tamtsil (terhadap Sifat Allah -pent) itu maksudnya menetapkan Sifat Allah serupa dengan sifat makhluk. Contohnya pendapat Mumatstsilah (kaum yang menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk-pent) yang mengatakan, "Tangan Allah seperti tanganku."
Dengan demikian tamtsil adalah tindakan mengait-ngaitkan Sifat Allah dengan sifat makhluk. Adapun takkyif tidak diiringi dengan sikap mengait-ngaitkan (menyerupakan-pent). Oleh karena itu membayangkan/berkhayal tentang bentuk/cara dari Sifat- Sifat Allah termasuk tindakan takyif.
Faidah Kedua:
Munculnya takyif akibat pertanyaan 'Bagaimana?' Kaum ahlul ahwaa'/pengekor hawa nafsu sering mempertanyakan (tentang kaifiyah Sifat Allah - pent) dengan ungkapan semacam ini. Apabila salah seorang ahlul bid'ah mempertanyakan, "Bagaimana kaifiyah Sifat ini dan itu?" Maka hendaklah anda memberikan salah satu jawaban diantara beberapa jawaban berikut:
Dengan jawaban seperti yang disampaikan oleh Imam Malik dan gurunya Rabi'ah. Suatu saat mereka ditanya tentang kaifiyah istiwa' (cara Allah bersemayam- pent). Beliau menjawab: "Kaifiyahnya tidak bisa dijangkau oleh akal, sedangkan makna istiwa' bukanlah sesuatu yang asing, mengimaninya adalah kewajiban adapun mempertanyakan (kaifiyahnya) termasuk bid'ah."
Dengan balik bertanya kepadanya mengenai bagaimana (kaifiyah) Dzat Allah Ta'ala. Apabila dia mempertanyakan misalnya, "Bagaimanakah Wajah Allah?, bagaimana Turun-Nya?, bagaimana Tertawa-Nya?, dst." Maka tanyakanlah kepadanya, "Bagaimanakah Dzat Allah?" atau "Bagaimanakah wujud-Nya?" Kalau dia mengatakan, "Aku tidak mengetahui kaifiyah Dzat Allah", maka katakanlah kepadanya, "Begitu pula saya tidak mengetahui kaifiyah Sifat- Sifat-Nya, akan tetapi saya menetapkan Sifat-Sifat tersebut dipunyai Allah sesuai dengan keagungan-Nya yang Maha Tinggi." Ketahuilah bahwa jawaban ini dibangun di atas kaidah 'Pembicaraan tentang Sifat serupa dengan pembicaraan tentang Dzat'.
Atau dengan jawaban, "Sesungguhnya Allah telah memberitakan kepada kita Sifat ini dan itu, dan Dia juga memberitahu kita bahwa Sifat- Sifat itu adalah milik-Nya. Sedangkan Dia tidak memberitahu kita tentang kaifiyah Sifat-Sifat tersebut. Kaum salaf/generasi Sahabat - semoga Allah meridhoi mereka- pun tidak pernah mempertanyakan hal ini, maka sudah sepantasnya kita juga diam (tidak mempersoalkan kaifiyahnya-pent) sebagaimana mereka."
Faidah Ketiga:
Terdapat perbedaan antara takyif dan kaif/kaifiyah. Anda tidak boleh mengatakan, "Saya menetapkan Sifat Allah tanpa kaifiyah" karena Sifat-Sifat Allah Ta'ala mempunyai kaifiyah walaupun bagaimananya itu tidak kita ketahui. Maka tetapkanlah Sifat-Sifat Allah dan tiadakanlah pengetahuan tentang bagaimana kaifiyah-nya sebab tidak ada seorangpun yang mengetahui kaifiyah Sifat Allah selain Allah Ta'ala. Dengan demikian jelaslah perbedaan antara 'peniadaan kaifiyah' dengan 'peniadaan ilmu tentang kaifiyah'. Peniadaan yang pertama (yaitu menolak kaifiyah-pent) tergolong tindakan ta'thil/penolakan Sifat, cermatilah !!!
Faidah Keempat:
Ketahuilah -semoga Allah menganugerahkan ilmu kepadaku dan kepadamu- sebenarnya ungkapan 'menolak tamtsil' itu lebih utama untuk dipakai daripada ungkapan 'menolak tasybih'. Hal ini didukung beberapa alasan:
Kata tamtsil/permisalan itulah yang ditolak oleh nash Al Qur'an. Allah Ta'ala berfirman, "Tiada sesuatu pun yang serupa/semisal dengan Dia." (QS. Asy Syuura: 11). Sedangkan kata tasybih bukan (istilah) yang dinafikan oleh nash tersebut.
Meniadakan tasybih secara keseluruhan dapat menyebabkan terjadinya ta'thil/penolakan Sifat. Karena tidak ada dua dzat kecuali pasti mempunyai qadrun musytarak/kadar minimal keseragaman yang menunjukkan bahwa keduanya memiliki kesamaan pada kadar tersebut, paling tidak kesamaan pada sisi makna asalnya.
Ahlul bid'ah semacam Jahmiyah dan Mu'aththilah terkadang menggunakan istilah Musyabbihah (pelaku tasybih) untuk menjuluki orang-orang yang menetapkan Sifat Allah; seperti sifat Ilmu, Qudrah dst. Oleh karena itulah sebaiknya kita menghindari kesalahpahaman dengan cara memakai istilah 'tamtsil' sebagai pengganti istilah 'tasybih'.
- bersambung insya Allah-
***
Diterjemahkan dari Al Is'aad fii Syarhi Lum'atil I'tiqaad karya Syaikh Abdur Razzaaq bin Musa Al Jazaa'iri, oleh Abu Muslih Ari Wahyudi
Dipublikasikan oleh www.muslim.or.id
Kaidah-Kaidah Penting untuk Memahami Nama dan Sifat Allah (4)
Kategori: Aqidah
KAIDAH KEEMPAT: Bantahan kita terhadap Mu'aththilah (para penolak Sifat).
Kaum Mu'aththilah itu terbagi- bagi ke dalam beberapa kelompok. Diantara mereka ada pihak yang mengingkari Nama dan Sifat Allah secara mutlak semacam kelompok Jahmiyah. Ada pula pihak yang mengingkari Sifat saja semacam kelompok Mu'tazilah. Ada pula yang mengingkari sebagian Sifat dengan tetap menetapkan Nama-Nama Allah semacam kelompok Asyaa'irah (yang mengaku-aku pengikut Imam Abul Hasan Al Asy 'ari-pent). Diantara mereka ada yang terjerumus dalam sikap tafwidh (menyerahkan lafazh, makna dan kaifiyah Sifat hanya kepada Allah-pent). Ada yang mensifati Allah dengan sifat-sifat yang saling bertolak belakang seperti, "Allah itu tidak hidup juga tidak mati, tidak mendengar juga tidak melihat (mungkin maksud beliau tidak tuli, wallahu a'lam-pent), tidak bisu tapi juga tidak berbicara, dst." Itu semua mereka lakukan dengan alasan untuk menghindar dari penyerupaan/tamtsil. Pendapat terakhir ini adalah madzhab orang-orang mulhid/atheis di kalangan sekte Bathiniyah.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin -semoga Allah Ta'ala merahmati beliau- menerangkan bagaimana cara membantah orang-orang semacam ini. Beliau mengatakan: "Pendapat- pendapat yang mereka lontarkan bertentangan dengan makna zhahir dari nash-nash yang ada, juga menyimpang dari manhaj/metode para Salaf, dan tidak ada dalil shahih yang mendukung pendapat mereka. Bahkan untuk membantah (kesalahan) mereka dalam beberapa Sifat tertentu bisa ditambahkan bantahan keempat bahkan bisa jadi lebih banyak dari itu." Yang dimaksud oleh beliau (Syaikh 'Utsaimin) ialah penambahan terhadap tiga bantahan yang telah diajukan tadi sangat mungkin untuk disampaikan sehingga jumlahnya menjadi empat bantahan dan bahkan bisa lebih banyak daripada itu tergantung Sifat mana yang sedang dibicarakan.
Faidah:
Apakah perbedaan tahrif dengan ta'thil?
Tahrif terjadi pada dalil (merubah lafazh maupun maknanya, lihat Mudzakkirah 'alal 'Aqidah Al Wasithiyah hlm 6 oleh Syaikh Al Utsaimin-pent) sedangkan ta'thil terjadi pada madlul/makna yang ditunjukkan dalil. "Syaikh Utsaimin juga mendefinisikan ta'thil sebagai pengingkaran Nama atau Sifat yang seharusnya ditetapkan dimiliki Allah, dengan bentuk ta'thil kulli/total seperti yang dilakukan oleh Jahmiyah atau ta'thil juz'i/sebagian' seperti yang dilakukan oleh Asy'ariyah" [yang ada dalam tanda petik adalah tambahan dari penterjemah]. (Sehingga setiap orang yang melakukan tahrif pasti melakukan ta'thil akan tetapi tidak setiap orang yang melakukan ta'thil itu mesti melakukan tahrif, lihatlah Syarah 'Aqidah Wasithiyah Syaikh Shalih Al Fauzan hlm 15 -pent).
Misalnya, ada seseorang yang mengomentari firman Allah Ta'ala, "Bahkan kedua Tangan Allah terbentang" dengan menyatakan "(dua Tangan) itu artinya dua Kekuatan-Nya." Maka orang ini telah terjerumus dalam tindakan tahrif terhadap dalil dan sekaligus melakukan ta'thil terhadap madlul/makna yang ditunjukkan oleh dalil; yaitu Tangan yang hakiki. Dengan demikian kita mengetahui bahwa kelompok Mufawwidhah/pelaku tafwidh (diantara mereka Syaikh Hasan Al Banna pendiri Jama'ah Al Ikhwan Al Muslimin, semoga Allah mengampuninya dan memberi hidayah taufiq kepada para pemujanya-pent) termasuk dalam jajaran penolak Sifat (Mu'aththilah).
Demikianlah kemudahan yang dianugerahkan Allah kepada saya guna menjelaskan kaidah-kaidah ini, semoga Allah menjadikannya bermanfaat. Segala Puji dari awal sampai akhir bagi Allah Rabb penguasa alam semesta. Semoga shalawat dan barakah tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
(Diterjemahkan oleh Abu Muslih dengan sedikit perubahan tanpa menyertakan catatan kaki dari Penulis)
***
Diterjemahkan dari Al Is'aad fii Syarhi Lum'atil I'tiqaad karya Syaikh Abdur Razzaaq bin Musa Al Jazaa'iri, oleh Abu Muslih Ari Wahyudi
Dipublikasikan oleh www.muslim.or.id
Diposkan pada 14 Mei 2009
Iklan dari Host: