XtGem Forum catalog

Bantahan Syubhat ‘Alawi al-Maliki Dan ‘Abdurrahman bin Sa’di

Kisah Fiktif Taubatnya
Syekh Abdurrahman bin
Nashir As-Sa’di

Syubhat ‘Alawi al-Maliki Dan
‘Abdurrahman bin Sa’di
Saat sampai kepadaku syubhat
berupa kisah dialog antara as-
Sayyid Alawi al-Maliki dan Syaikh
‘Abdurrahman bin Sa’di, mudah-
mudahan Allah merahmati
keduanya- saya tidak berminat
menjawabnya pada waktu ini,
mengingat kesibukanku dalam mendakwahi Nasrani dan Syi’ah.
Di samping itu saya tidak ingin mengusik kedamaian antara kami dan saudara kami-meskipun kami berselisih dengan
mereka, namun mereka akan tetap menjadi saudara kami,
karena kami bersepakat
dengan mereka dalam ushul
(pokok) agama ini dan banyak
sekali dalam furu’ (cabang)nya-.

Akan tetapi saya terpaksa
menjawab syubhat ini tanpa
menundanya, karena melihat
pentingannya, bahayanya, dan penyebarannya. Juga karena syubhat tersebut sampai kepada saya dari orang yang tidak mungkin saya menolak
permintaannya, yaitu Akhi al- Ustadz Agus Hasan Bashori hafizhahullah. Berikut ini adalah
teks dari syubhat tersebut:

Syubhat

Suatu ketika, as-Sayyid ‘Alwi
bin Abbas sedang duduk di
dalam halaqahnya di Masjidil
Haram Makkah. Sementara disisi lain bagian Masjidil Haram duduk pula as-Syaikh
‘Abdurrahman bin Sa’diy, penulis kitab Tafsir (Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-
Mannan) sementara manusia
sedang dalam shalat dan
thawaf mereka. Kala itu, langit tengah membawa mendung,
kemudian turunlah hujan, dan tertumpah dari talang Ka’bah.

Maka orang-orang Hijaz,
sebagaimana kebiasaan mereka,berhamburan menuju air yang
tumpah dari talang Ka’bah
untuk mengambil dan
menunangkannya ke baju dan tubuh mereka guna
bertabarruk dengannya.
Maka terkejutlah ahlul hasbah dari kalangan Badui dan menganggap bahwa manusia telah datang dengan kesyirikan
dan menyembah selain Allah!!!

Jadilah mereka kemudian
berkata kepada ahlul Hijaz
tersebut, ‘Wahai orang-orang musyrik, syirik… syirik….!’
Maka bubarlah orang-orang
tersebut, kemudian berpaling
menuju halaqah as-Sayyid
‘Alawiy, lalu mereka bertanya kepadanya (tentang hal itu).
Lantas diapun membolehkan
mereka untuk melakukan hal itu dan menganjurkannya. Maka
untuk kedua kalinya, orang-
orang itu berhamburan menuju talang Ka’bah untuk mengambil
air tanpa menghiraukan ahlul hasbah yang badui tersebut.

Kemudian orang-orang itu
berkata kepada mereka, ‘Kami tidak akan mempedulikan kalian
setelah as-Sayyid Alawiy bin
‘Abbas memberikan fatwa
kepada kami…’
Maka orang-orang Badui itupun pergi ke halaqah as-Syaikh ‘Abdurrahman bin Sa’diy untuk mengadukan as-Sayyid ‘Alawiy
kepadanya. Lantas Ibnu Sa’diy pun mengambil sorbannya lalu
pergi dan duduk di sisi as-
Sayyid dengan adab yang
agung, sementara manusia
berkumpul di sekitar keduanya.
Kemudian Ibnu Sa;diy berkata kepada as-Sayyid, ‘Apakah
benar wahai Sayyid, bahwa
Anda telah berkata kepada
manusia bahwa terdapat
keberkahan pada air ini?!
Maka berkatalah as-Sayyid,
‘Bahkah saya katakan,
terdapat dua keberkahan!! ’
Ibnu Sa’di berkata,
‘Bagaimanakah yang demikian itu?’
As-Sayyid menjawab,
‘Dikarenakan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
ﻭَﻧَﺰَّﻟْﻨَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﻣَﺎﺀً ﻣُﺒَﺎﺭَﻛًﺎ
“Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkahi…” (QS. Qaaf:9)
Dan Dia berfirman tentang
Ka’bah:
ﺇِﻥَّ ﺃَﻭَّﻝَ ﺑَﻴْﺖٍ ﻭُﺿِﻊَ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻟَﻠَّﺬِﻱ
ﺑِﺒَﻜَّﺔَ ﻣُﺒَﺎﺭَﻛًﺎ ﻭَﻫُﺪًﻯ ﻟِﻠْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦَ(٩٦)
“Sesungguhnya rumah yang
mula-mula dibangun untuk
(tempat beribadat) manusia,
ialah Baitullah yang di Bakkah
(Mekah) yang diberkahi dan
menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Ali ‘Imran: 96)

Maka keduanya sekarang
adalah dua keberkahan; satu
keberkahan air langit, dan
keberkahan Ka’bah ini.’
Maka takjublah as-Syaikh Ibnu Sa’di seraya berkata,
‘Subhanallah, bagaimana kita
bisa lalai dari hal ini?’ lantas
diapun berterima kasih kepada as-Sayyid dan meminta izin untuk pergi.
Maka berkatalah as-Sayyid
kepadanya, ‘Tenang wahai
Syaikh, apakah Anda melihat
orang-orang badui tersebut?
Sesungguhnya mereka
menyangka bahwa apa yang
dilakukan oleh orang-orang itu adalah sebuah kesyirikan.
Mereka tidak akan berhenti
mengkafirkan manusia dan
melemparkan tuduhan syirik
kepada mereka dalam perkara ini hingga mereka melihat orang seperti Anda menahan mereka,
maka bangkitlah menuju talang Ka’bah, lalu ambillah air darinya dihadapan mereka hingga
mereka menahan diri dari
manusia.’
Maka tidak ada apa pun dari
Ibnu Sa’di melainkan dia bangkit dan pergi lalu membuka bajunya, mengambil air dan
bertabarruk dengannya. Lalu
pergilah orang-orang badui itu dari manusia.
As-Syaikh ‘Abdul Fattah
Rawwah memberitakan
kepadaku dengan kisah ini
dalam Tsabatnya.
jawaban Saya memohon pertolongan
kepada Allah, dan saya banyak bersyukur dan memuji Allah
karena syubhat ini dimintakan
jawabannya dari saya bukan
dari ahli ilmu selain saya. Hal itu bukan karena ilmu saya yang sederhana ini, akan tetapi karena suatu perkara yang para pembaca akan mengetahuinya dari sela-sela jawaban saya.
Sesungguhnya kisah buatan
(atau fiktif) ini, saat
memperhatikannya, menjadi
jelas bahwa orang yang
mengarangnya terjerumus pada banyak kesalahan fatal.
Pengarang ini meninggalkan
banyak jejak bagi
kejahatannya, bukan hanya
satu jejak.
Karena perhatian saya agar
pembahasan ini menjadi
pembahasan yang ilmiah lagi
menyeluruh yang mencangkup
segala sisinya, maka saya
membagi pembahasan ini
menjadi sepuluh bagian.
Pertama, sanad riwayat kisah;
kedua, matan (isi, kandungan)
kisah; ketiga, rincian riwayat;
keempat, perbandingan
riwayat; kelima, pandangan
sejarah; keenam, perselisihan
redaksional; ketujuh, tujuan
dari periwayatan kisah;
kedelapan, diagnosa kejiwaan
dan psikologi; kesembilan,
perbandingan antara as-Syaikh
bin Sa’diy dengan as-Sayyid
‘Alawiy Maliki; kesepuluh, Risalah
untuk ummat.
Sanad Periwayatan:
Saat melihat kepada sanad
periwayatan, kami
mendapatinya dalam keadaan
rapuh. Tidak ditemukan sanad
shahih lagi terpercaya yang
sambung sampai kepada as-
Sayyid ‘Alawiy Maliki secara
langsung. Sekalipuan ini sudah
cukup menjadi dalil yang
mu’tabar atas runtuhnya dan
tertolaknya riwayat tersebut.
Terutama bahwa penulis kisah
fiktif itu adalah orang bayangan
yang tidak dikenal jati dirinya.
Dimana dia menaruh kisah ini di
dunia maya yang kemudian
dikutip oleh orang-orang tanpa
ilmu, pemahman atau klarifikasi.
Lalu mengklaim bahwa as-Syaikh
Bayangan itu telah mendengar
riwayat itu dari as-Sayikh
‘Abdul Fattah Rawwah. Di sinilah
riwayat tersebut jatuh
berantakan, dan terbuka
kedustaannya sama sekali. Yang
demikian itu karena as-Syaikh
‘Abdul Fattah Rawwah adalah
tetangga dekat kami di
Makkah, di distrik al-Hujun.
Dimana tidak terpisah antara
rumah kami dengan rumah
Syaikh kecuali oleh satu rumah
saja. Saya sendiri kenal dengan
as-Syaikh Rahimahullah, dan
sepanjang hidup saya, saya
tidak pernah mendengar
darinya, atau dari seorang pun
dari penduduk distrik, atau dari
murid-murid beliau yang telah
menukil kisah ini dari beliau
hingga beliau wafat
Rahimahullah.
Agar saya tidak meninggalkan
satu kesempatan bagi mereka
yang menentang dengan
meragukan ucapan saya, maka
sesungguhnya saya telah
menelephon putra beliau, yaitu
Ibrahim pada hari Selasa yang
bertepatan dengan 24
Rabiutstsaniy 1432 H (29 Maret
2011) pada jam 12 siang,
dimana saya bertanya
kepadanya jika dia pernah
mendengar kisah ini suatu hari
dari ayahandanya di dalam
mejelis ilmuanya. Maka dia pun
menafikannya dari ayahandanya
sama sekali. Dan dia menyebut
bahwa ayahandanya memiliki
delapan belas kitab yang
semuanya terdapat di
Perpustakaan Masjidil Haram,
dan tidak ada satu pun kitab-
kitab itu yang berisi kisah ini.
Dan yang mengagetkan,
sesungguhnya saya bertanya
kepadanya, jika ayahandanya
berkeyakinan akan keberkahan
air hujan yang turun dari
talang Ka’bah, maka diapun
menafikan keyakinan ini dari
ayahandanya.
Sesungguhnya saya selalu siap
kapan saja bagi siapa saja yang
ingin bertemu dengan putra
Syaikh, saya menjamin dan
menjanjikan hal itu di hadapan
Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan
Dia adalah sebaik-baik saksi.
Sebagaimana kami di majalah
Qiblati akan menerbitkan –
dengan izin Allah- VCD (video)
untuk menguatkan persaksian
Ibnu as-Syaikh ‘Abdul Fattah
Rawwah dan saksi lainnya.
Saya kira dengan demikian, kita
patut “bertakbir empat kali”
atas jenazah sanad riwayat
kisah tersebut setelah saya
menghadirkan dalil qath’i yang
membatalkannya.
Matan Riwayat:
Saat kita mengikuti isi dari
kisah ini, maka kita mendapati
bahwa kisah ini mengandung
berbagai perselisihan syari’at
yang jelas. Argumentasi yang
mereka klaim bahwa as-Sayyid
‘Alawiy Maliki berdalil dengannya
adalah argumentasi dengan
Qiyas yang batil lagi tidak
benar. Dimana beliau
membuktikan keberkahan air
hujan yang turun dari talang
Ka’bah dengan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
ﻭَﻧَﺰَّﻟْﻨَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﻣَﺎﺀً ﻣُﺒَﺎﺭَﻛًﺎ
“Dan Kami turunkan dari langit
air yang diberkahi…” (QS. Qaaf:
9)
Kemudian ia menjadikannya
bercampur dengan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
ﺇِﻥَّ ﺃَﻭَّﻝَ ﺑَﻴْﺖٍ ﻭُﺿِﻊَ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻟَﻠَّﺬِﻱ
ﺑِﺒَﻜَّﺔَ ﻣُﺒَﺎﺭَﻛًﺎ ﻭَﻫُﺪًﻯ ﻟِﻠْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦَ(٩٦)
“Sesungguhnya rumah yang
mula-mula dibangun untuk
(tempat beribadat) manusia,
ialah Baitullah yang di Bakkah
(Mekah) yang diberkahi dan
menjadi petunjuk bagi semua
manusia.” (QS. Ali ‘Imran: 96)
Agar para penuntut ilmu bisa
memahami kesalahan
argumentasi yang rancu ini,
pertama-tama kita harus
memberikan batasan
pemahaman dan makna dari al-
barakah (keberkahan) yang
disebutkan dalam dua ayat
tersebut.
Dalam firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala: [
ﻟَﻠَّﺬِﻱ ﺑِﺒَﻜَّﺔَ ﻣُﺒَﺎﺭَﻛًﺎ]
maksudnya adalah bahwa
rumah ini (Ka’bah) diberkahi
oleh Allah, akan tetapi bukanlah
makna keberkahan dalam
rumah ini dengan kita membuat
segala yang kita kehendaki, lalu
mengusap-usap tembok Masjidil
Haram, atau lantainya, atau
Maqam Ibrahim, atau dengan
sebagian tempat dari Ka’bah
yang tidak ada dalil pun yang
menunjukkan perintah
pengusapannya, atau dengan
apa yang tumpah dari air hujan;
bukan ini makna keberkahan
tersebut.
Akan tetapi keberkahan yang
dimaksud adalah bahwa
keberkahan rumah tersebut
ada pada kesinambungan
kunjungan manusia kepadanya
tanpa terputus; penunaian haji
dan umrah; diraihnya pahala
dengan tambahan pahala satu
shalat hingga menjadi seratus
ribu shalat; i’tikaf di masjidil
Haram, dan membaca al-Qur`an
padanya.
Inilah keberkahan Ka’bah yang
hakiki, yang sungguh
disayangkan tidak difahami oleh
as-Sayyid ‘Alawiy Maliki
sebagaimana yang diinginkan
oleh sang pengarang kisah
buatan ini. Dimana dia telah
berbuat buruk kepada beliau
dari sisi keinginan baiknya ini.
Adapun keberkahan yang
dimaksud dalam firman-Nya
Subhanahu wa Ta’ala: [
ﻭَﻧَﺰَّﻟْﻨَﺎ ﻣِﻦَ
ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﻣَﺎﺀً ﻣُﺒَﺎﺭَﻛًﺎ], maka
demikian juga, telah hilang dari
pikiran as-Sayyid ‘Alawiy Maliki
sebagaimana yang dikehendaki
oleh sang pengarang.
Pemahaman yang benar bagi
keberkahan tersebut telah
jelas dalam ayat tersebut
secara ekplisit, dimana ayat
tersebut berbunyi:
ﻭَﻧَﺰَّﻟْﻨَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﻣَﺎﺀً ﻣُﺒَﺎﺭَﻛًﺎ
ﻓَﺄَﻧْﺒَﺘْﻨَﺎ ﺑِﻪِ ﺟَﻨَّﺎﺕٍ ﻭَﺣَﺐَّ ﺍﻟْﺤَﺼِﻴﺪِ(٩)
“Dan Kami turunkan dari langit
air yang banyak manfaatnya
lalu Kami tumbuhkan dengan air
itu pohon-pohon dan biji-biji
tanaman yang diketam…” (QS.
Qaaf: 9)
Maksudnya adalah bahwa Dia
menurunkan air yang
bermanfaat dari langit,
dengannya Allah Subhanahu wa
Ta’ala menumbuhkan bumi, lalu
tumbuhlah tanaman-tanaman.
Dan diantara hasilnya adalah
manusia mengambil manfaat dan
memakannya. Maka hujan
adalah satu nikmat dari sekian
nikmat-nikmat Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Dengannyalah ada
kehidupan manusia, hewan dan
bumi. Dengan turunnya hujan,
bumi menumbuhkan segala
kebaikannya, meratanya
keberkahan, dan banyaknya
rizki. Akan tetapi keberkahan di
sisi as-Sayyid ‘Alawiy Maliki –
sebagaimana yang digambarkan
oleh pengarang kisah- adalah
sesuatu yang lain sebagaimana
yang sudah kita baca dalam
kisah fiktif di atas. Beliau
mengqiyaskan air hujan yang
diberkahi dengan turunnya di
atas Ka’bah yang diberkahi,
kemudian dengan demikian
beliau menyimpulkan bahwa
terdapat dua keberkahan yang
saling bercampur (tumpang
tindih). Ini adalah sebuah
kesalahan besar yang telah
mereka lakukan terhadap as-
Sayyid ‘Alawiy. Dikarenakan air
hujan itu tetap diberkahi
sekalipun turun di negeri kafir
dan tidak memiliki kekhususan
saat turun di Masjidil Haram.
Kami meminta mereka untuk
menetapkan dalil bahwa air
hujan memiliki kekhususan
dengan turunnya di Baitul
Haram jika mereka mampu.
Maka atas dasar apa mereka
menjadikan pengkhususan ini
dari istinbath yang disebutkan
dalam dua ayat tersebut? Dan
kami telah menyebutkan serta
menjelaskan maksud
keberkahan pada keduanya.
Seandainya kami mengalah,
bahwa air hujan yang turun
dari talang Ka’bah membawa
dua keberkahan yang berarti
bahwa manusia akan mengambil
manfaat besar dengannya,
maka jika demikian, bagaimana
hal itu bisa hilang dari
pengetahuan Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan tidak
pernah memberikan wasiat
kepada umatnya dengan
kebaikan agung ini sementara
as-Sayyid ‘Alawi Maliki
mengetahuinya?
Bagaimana para sahabat, tabi’in
dan para imam tidak
mengetahui kebaikan agung ini
dan as-Sayyid ‘Alawi Maliki
mengetahuinya? Maka apakah
masuk akal bahwa beliau
mengetahui satu perkara yang
tidak diketahui oleh Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Dan
juga para sahabat, tabi’in dan
para imam belum pernah
mengetahuinya? Yang juga
tidak pernah ditemukan satu
dalilpun bahwa mereka pernah
mengatakan seperti perkataan
as-Sayyid ‘Alawiy Maliki.
Pada hakikatnya, as-Sayyid
‘Alawiy Maliki dengan logika
yang datang dalam kisah ini,
beliau tidak hanya lebih ‘alim
dari as-Sayikh ibn Sa’diy
bahkan dia lebih ‘alim dari
seluruh sahabat, tabi’in, dan
para imam, termasuk di antara
mereka adalah al-Imam as-
Syafi’i Rahimahullah yang tidak
pernah memberikan peringatan
kepada umat terhadap
permasalahan ini seperti apa
yang dilakukan oleh as-Sayyid
‘Alawiy Malikiy. Jika al-Imam as-
Syafi’i tertinggal dari masalah
ini, maka bagaimana tidak
tertinggal atas as-Sayikh Ibn
Sa’di yang dia lebih kecil
daripada al-Imam as-Syafi’i.
Kemudian siapa as-Sayikh Ibn
Sa’diy di hadapan para sahabat,
tabi’in yang mereka tidak tahu
masalah ini, dan as-Sayyid
‘Alawiy Maliki mengetahuinya?!
Termasuk yang penting kita
fahami adalah bahwa hujan
termasuk perkara yang
turunnya terus berulan-ulang.
Sekalipun demikian tidak pernah
dinukil dengan satu sanad yang
shahih bahwa ada salah
seorang sahabat atau para
imam yang melakukannya atau
menganjurkannya. Bahkan
dengan sedikit akal, kita akan
bisa sampai bahwa seandainya
ucapan as-Sayyid ‘Alawiy Maliki
adalah benar, maka pastilah
para sahabat dan kaum
muslimin akan saling
berdatangan dari setiap tempat
untuk menuju Makkah pada
musim hujan untuk
mendapatkan dua keberkahan
yang agung tersebut. Sekiranya
ini tidak pernah terjadi, maka
kita bisa mengetahui akan
kebid’ahan tujuan periwayatan
kisah tersebut dan kedustaan
pengarangnya.
Rincian riwayat:
Anda telah mengikuti dalam
kisah tersebut bahwa orang-
orang Badui saat mereka pergi
kepada as-Sayikh ‘Abdurrahman
ibn Sa’di lalu mengadukan as-
Sayyid ‘Alawiy Maliki kepadanya,
Sayikh bin Sa’di pun pergi ke
Majelis as-Sayyid ‘Alawiy Malikiy
dan mendapatinya di sana,
kemudian berdialog bersamanya
tentang masalah tersebut. Di
sini menjadi jelas akan
kebohongan dan kedustaan
penulis kisah. Sebab, seandainya
as-Sayyid ‘Alawiy beriman
bahwa air hujan yang turun
dari talang ka’bah membawa
dua keberkahan, maka pastilah
saat itu dia sendiri yang akan
berdiri di bawah talang Ka’bah
untuk mendapatkan
keberkahan tersebut,
bukannya duduk di majelisnya!
Maksudnya, seharusnya as-
Sayikh bin Sa’di tidak mendapati
as-Sayyid ‘Alawiy kecuali di
bawah talang Ka’bah. Karena
hal ini tidak terjadi, maka hal
itu merupakan dalil atas
kebatilan kisah tersebut.
Demikian juga kita mendapati
bahwa manusia saat orang-
orang Badui melarang mereka,
mereka pergi ke as-Sayyid
‘Alawiy Maliki di majelisnya.
Maksudnya bahwa as-Sayyid
‘Alawiy Maliki sejak awal
turunnya hujan tidak berada di
bawah talang Ka’bah untuk
mendapatkan keberkahan dan
keutamaan yang agung
tersebut! Maka bagaimana
mungkin dia menjadikan
keutamaan agung itu lepas
darinya?! Di sinlah pengarang
kisah dusta tersebut
menampakkan bahwa as-Sayyid
‘Alawiy Maliki bukanlah
termasuk para ulama yang
mengamalkan ilmu mereka. Maka
diapun tanpa sadar telah
menghinakan beliau, padahal
maksudnya ingin memuliakan
beliau.
Sebagaimana sang pengarang
menampakkan bahwa orang-
orang Badui itu lebih banyak
ilmunya dari as-Sayyid ‘Alawiy
Maliki, dikarenakan ucapan dan
pengingkaran mereka yang
disebutkan dalam kisah adalah
kebenaran. Dimana keyakinan
keberkahan air hujan yang
turun dari talang Ka’bah
termasuk sarana kesyirikan dan
termasuk syirik ashghor.
Adapun jika berkeyakinan
bahwa itu merupakan wasilah
kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, atau hujan itu yang
memberi keberkahan maka
menjadi syirik besar. Demikian
pula dengan orang mengusap
tembok-tembok Masjidil Haram
atau Ka’bah atau Maqom
Ibrahim dengan berharap
keberkahan, maka itu juga
termasuk sarana kesyirikan.
Maka kaum muslimin mencontoh
dan mengikuti Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, dan
mengamalkan sunnah Nabi
berdasarkan sabda beliau
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
«ﺧُﺬُﻭﺍ ﻋَﻨِّﻲْ ﻣَﻨَﺎﺳِﻜَﻜُﻢْ»
“Ambillah dariku oleh kalian
manasik kalian.”
Dan beliau bersabda:
«ﺻَﻠُّﻮﺍ ﻛَﻤَﺎ ﺭَﺃَﻳْﺘُﻤُﻮْﻧِﻲْ ﺃُﺻَﻠِّﻲْ»
“Shalatlah kalian sebagaimana
kalian melihat aku shalat.”
Maka kita diperintahkan untuk
shalat sebagaimana beliau
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
shalat, dan berhaji sebagaimana
beliau Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam berhaji.
Demikianlah, tanpa sengaja
Sang Pengarang telah
menjadikan orang-orang Badui
pada kedudukan para ulama.
Sementara dia jadikan as-
Sayyid ‘Alawiy Maliki tampil
sebagai seorang pelaku bid’ah
dalam agama, dimana beliau
telah memerintahkan sesuatu
yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam tidak pernah
memerintahkannya,
melakukannya, dan tidak
pernah mengakuinya, dan tidak
pernah dilakukan oleh para
sahabat, serta para imam,
termasuk di antara mereka
adalah al-Imam as-syafi’i
Rahimahullah yang telah hidup
bertahun-tahun di Makkah, dan
belum pernah dinukil dari beliau
satu perintah pun seperti ini,
tidak juga dari seorang pun
dari para imam.
Sebagaimana Sang Pengarang
menjadikan orang-orang yang
mencontoh Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, serta
mengikuti sunnah beliau sebagai
orang-orang Badui. Sedangkan
pelaku bid’ah dalam agama
menurut pengarang adalah
orang yang mengikuti sunnah
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Yang mengejutkan sekarang,
yang wajib kami peringatkan
adalah bahwa tidak ada satu
ulama ahli tafsir pun yang
menyebutkan seperti yang
disebutkan oleh as-Sayyid
‘Alawiy Maliki pada tafsir-tafsir
mereka untuk kedua ayat
tersebut. Padahal jika qiyas ini
benar maka seharusnya mereka
menyebutkannya sebagai bab
tambahan istidlal atas
keagungan dan keberkahan
Ka’bah. Akan tetapi tidak ada
satu ahli tafsir pun yang
beristidlal dengan hal itu, maka
hal ini menunjukkan atas apa?
Bagaimana mungkin pada masa
ini datang seorang bodoh yang
ingin merendahkan ilmu as-
Syaikh ibn Sa’di untuk perkara
aneh ini yang umat Islam tidak
pernah mengetahuinya sejak
Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengutus Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam untuk membawa
risalah ini.
Perbandingan Riwayat
Wajib bagi kita untuk
mengarahkan satu pertanyaan
penting; yaitu mana yang lebih
banyak keberkahannya; air
zam-zam atau air hujan? Saya
kira tidak akan ditemukan satu
orang berakal pun yang
menjadikan air hujan yang
merupakan hasil dari
menguapnya air laut itu lebih
banyak keberkahannya
daripada air zam-zam yang
telah disebutkan dalam banyak
hadits dengan terang-terangan
akan keberkahannya, dan
bertabarruk dengannya, serta
mencari kesembuhan dengan
wasilahnya. Cukuplah bahwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
mengkhususkan air zam-zam,
tidak air selainnya untuk
memandikan hati manusia
termulia, Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam.
Dengan logika qiyas yang sama,
yang diqiyaskan oleh pengarang
kisah atas nama as-Sayyid
‘Alawiy Maliki, kami bertanya,
bagaimana seandainya kita
menjadikan air zam-zam mancur
dari talang Ka’bah? Bukankah
air zam-zam akan menjadi lebih
agung manfaatnya dengan
kondisi ini ataukah air hujan
lebih agung? Lalu mengapa as-
Syari’ (Allah) tidak menunjukkan
kita untuk mengamalkan hal ini
agar mendapatkan keberkahan
yang teragung? Padahal bisa
saja para khalifah, raja-raja
untuk melakukannya, lalu
mengapa usaha agung ini
tertinggal dari meeka,
terutama pada masa mereka
terdapat para imam pemuka
para ulama?
Saya akan membuat satu
permisalan dengan satu riwayat
hipotesa yang kemudian kita
bandingkan dengan kisaf fiktif
tersebut. Semuanya akan
menjadi yakin bahwa dengan
logika yang sama riwayat
hipotesa saya akan
mengunggulinya, dan hendaknya
orang-orang berakallah yang
menghukuminya:
Kasus as-Sayyid ‘Alawiy Maliki
hanyalah mandi dengan air
hujan saat turun (mancur) dari
talang Ka’bah, sementara
riwayat hipotesa saya yang
akan mengungguli riwayat
bikinan tersebut adalah; air
zam-zam saya masukkan ke
dalam Ka’bah, lalu saya
meminumnya dari tempat yang
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dulu shalat di dalamnya.
Sekarang perhatikanlah
perbedaan antara riwayat as-
Sayyid ‘Alawiy dan riwayat
saya. Dia mengandalkan air
hujan sementara saya
mengandalkan air zam-zam.
Secara sepakat air zam-zam
lebih utama dari air hujan.
Kemudian mendasarkan
keberkahan pada tempat
turunnya air hujan saja yaitu
atap Ka’bah, dan airnya datang
dari luar Ka’bah, sementara
saya menyandarkan pada
tempat di dalam Ka’bah, dan itu
lebih utama secara sepakat. Dia
menyandarkan pada mandi, dan
saya menyandarkan pada
minum, dan minum lebih utama
secara sepakat. Sebagai
tambahan atas as-Sayyid
‘Alawiy Maliki, saya menjadikan
minum tersebut di tempat yang
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dulu shalat di dalam ka’bah, dan
tempatnya telah diketahui.
Sekarang orang-orang berakal
menyaksikan, bukankah setelah
perbandingan ini riwayat
hipotesa saya lebih kuat dan
lebih banyak hujjahnya dari
riwayat bikinan tersebut? Akan
tetapi pertanyaannya apakah
as-Syari’ (Allah yang
menetapkan syari’at) telah
menunjukkan kepada kita akan
kedua riwayat tersebut? Dan
apakah para sahabat, tabi’in
dan para imam melakukannya?
Secara yakin, as-Syari’ tidak
pernah menunjukkan kepada
kita riwayat as-Sayyid ‘Alawiy
yang palsu ini, tidak juga
riwayat hipotesa saya. Maka itu
menjadi bukti akan kebatilan
kedua riwayat tersebut. Maka
jika mereka bersikukuh atas
kebenaran keberkahan dalam
riwayat as-Sayyid ‘Alawi, maka
keberkahan yang ada dalam
riwayat saya lebih agung.
Pandangan Sejarah:
Sebenarnya apa yang saya
sampaikan sudah cukup, tidak
perlu pembahasan ini dan
pembahasan berikutnya, akan
tetapi untuk melepas tanggung
jawab dan untuk kelengkapan
pembahasan ilmiah ini akan saya
lanjutkan dengan sebatas
kemampuan saya, siapa tahu
sebagian akal bergerak
menjauh dari sifat ta’ashshub
(fanatik). Untuk itu saya akan
cukup menyebutkan sebagian
soal-soal penting yang
diharapkan bisa membantu para
pencari kebenaran dalam
memahami permasalahan dari
segala sisinya. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut adalah:
Mengapa kisah ini tidak
menyebar saat kelompok shufiy
memiliki peran di Makkah, dan
baru menyebar pada hari ini
saat kelompok shufiy tidak
memiliki peran?
Mengapa orang-orang
Hadhramaut tidak mengetahui
kisah ini sejak hari itu
sementara Hadramaut adalah
markas Syufiy, sementara
orang-orang Indonesia
mengetahuinya belakangan ini?
Bukankah termasuk aneh, tidak
ada seorang pun yang
mengetahui kisah ini dari waktu
kejadiannya, dan sepanjang
masa itu, kemudian menjadi
terkenal dan dikenal setelah
kurang lebih enam puluh tahun
setelah kejadiannya?
Mengapa kisah ini tidak keluar
pada masa hidupnya as-Syaikh
‘Abdul Fattah Rawwah, lalu
keluar setelah wafat beliau
sementara beliau adalah saksi
terakhir atas kisah tersebut
sesuai dengan riwayat yang
telah diterjemah?
Mengapa Syaikh ‘Abdul Fattah
Rawwah tidak memberikan
wasiat kepada anak-anaknya
sebagaimana dia telah belajar
dari gurunya as-Sayyid ‘Alawiy
Maliki dalam kehidupannya, atau
setelah kematiannya agar
mereka mandi dari air hujan
yang turun dari talang Ka’bah.
Mengapa beliau menjadikan
keutamaan ini hilang dari
mereka?
As-Sayyid ‘Alawiy Maliki dulu
tinggal di distrik yang persis
bersebelahan dengan kami,
yaitu distrik al-‘Utaibah, dan
kisah ini sama sekali tidak
pernah diketahui dari orang-
orang tua di distrik al-‘Utaibah,
atau penduduk distrik al-Hujun
yang bersebelahan dengannya
dari majelis-majelis mereka. Lalu
bagaimana kisah tersebut tidak
menyebar di distrik yang as-
Sayyid ‘Alawiy Maliki tinggal di
sana, serta menyampaikan
kajian di dalamnya lalu bisa
menyebar di Indonesia?
Demikian juga mengapa
penduduk Makkah yang
kejadian itu terjadi di sana
tidak mengetahuinya, lantas
orang-orang Indonesia justru
yang mengetahuinya?
Sekalipun kisah ini bukanlah
untuk dibanggakan,
sebagaimana telah saya
jelaskan, karena menunjukkan
kebodohan terhadap al-Qur`an
dan sunnah nabi, tetapi kami
akan mengalah dan
menganggapnya sebagai satu
kebanggaan besar bagi as-
Sayyid ‘Alawiy Maliki. Maka
sesungguhnya jika demikian, lalu
mengapa putranya, yaitu as-
Sayyid Muhammad ‘Alawiy tidak
pernah meriwayatkannya
sepanjang hidupnya, sementara
dia adalah orang yang paling
tahu tentang ayahandanya?
Terutama telah ada
permusuhan keras antara as-
Sayyid Muhammad yang putra
‘Alawiy Maliki itu dengan para
pengikut manhaj salaf
(wahhabiy)? Maka mengapa dia
tidak menggunakannya jika
memang itu benar, lalu
menyebarkannya dalam satu
kitab dari kitabnya, atau satu
kaset dari kaset-kasetnya atau
dalam kajian video dari kajian-
kajiannya? Terutama hal itu
sangat dibutuhkan?
Kemudian, mengapa as-Sayyid
‘Abbas, yang dia adalah putra
‘Alawiy Maliki, tidak pernah
menceritakan kisah ini
sementara dia masih hidup?
Jika kisah ini benar, maka
bagaimana kisah ini bisa hilang
dari orang-orang shufiah untuk
kemudian mereka bisa
menggunakannya, merekamnya
dengan suara as-Sayyid ‘Alawiy
Maliki sendiri agar menjadi
bukti-bukti kemenangan
mereka atas pengikut manhaj
salaf (wahhabiy)? Dan perlu
diketahui bahwa as-Sayyid
‘Alawiy Maliki telah wafat pada
tahun 1971 M, dan kala itu
kamera video telah banyak,
maka mengapa para
pengikutnya tidak merekam
realitas ini kemudian
menetapkannya untuk sejarah?
Jawabannya dengan mudah,
mereka tidak melakukannya
karena kisah tersebut adalah
kisah bikinan (fiktif), tidak
benar, dan diada-adakan
secara dusta atas nama kedua
Syaikh tersebut,
rahimahumallah.
Saya tutup bagian ini bahwa
Sang Pengarang yang dusta
tidak memberikan tanggal bagi
kita akan waktu terjadinya
kejadian itu jika benar. Jika
tidak, seandainya dia menyebut
tanggal begitu saja, maka
pekara dia akan terbongkar
dengan mudah. Karena kami
akan menentukan, jika kala itu
dalam musim panas atau dingin.
Jika di musim dingin, maka
memungkinkan bagi kami untuk
menentukannya jika air hujan
turun di atas Makkah dengan
tanggal tertentu. Atau bisa dari
sebagian kitab yang
menetapkan jatuhnya air hujan
di Makkah, atau juga melalui
lembaga penelitian. Yang
menyebabkan hal itu mudah
adalah karena Makkah tidak
seperti Indonesia yang banyak
hujan. Air hujan di Makkah
paling-paling turun setahun
sekali atau kebanyakan dua
kali, dan jarang sekali sampai
tiga kali. Akan tetapi Sang
Pengarang, karena khawatir
terbongkar, dia pun diam sama
sekali, dan menjadikannya
tanpa penegasan seperti halnya
cerita yang kita ceritakan
kepada anak-anak kita agar
mereka tidur.
Terakhir, saya katakan apakah
masuk akal air hujan yang
turun dari talang Ka’bah
memiliki keberkahan seperti
yang ada dalam kisah
sementara para sahabat, tabi’in
dan para ulama tidak bersegera
untuk meraih karunia ini, atau
pernah dinukil dari mereka,
atau mereka menyebutnya
dalam kitab-kitab mereka?
Bahkan seaindainya tabarruk
(ngalap berkah) dengan cara
itu syar’iy (sesuai syariat),
pastilah sejarah akan mencatat
untuk kita nama-nama para
sahabat, tabi’in dan para ulama
yang telah menuai keberkahan
ini, lalu sukses mendapat
karunia agung ini, dan
sekiranya bahwa kisah ini tidak
terjadi, maka telah tetap
kebatilan dan kedustaan kisah
ini.
Kesalahan Redaksioanal
(Lafzhiyah):
Pengarang kisah ini terjerumus
dalam satu kesalahan besar
yang tidak sepatutnya terjadi
seandainya dia tahu perbedaan
masyarakat antara penduduk
Najed dan al-Qashim, serta
penduduk Hijaz. Maka diantara
kesalahan fatal yang terjadi di
dalamnya yang menunjukkan
akan kedustaannya adalah
bahwa dia menyebutkan as-
Syaikh bin Sa’di saat datang
kepada ‘Alawiy Maliki, dia
menyerunya dengan panggilan
sayyid, dan pengarang tersebut
lupa bahwa penduduk Najed dan
al-Qoshim tidak mengatakan
kalimat tersebut (gelar sayyid)
hingga hari ini. Sementara kami
ahlul Hijaz menggunakan
panggilan sayyid itu atas setiap
orang yang nasabnya sampai
kepada al-Husain Radhiallahu
‘Anhu. Adapun selain kami dari
penduduk Najed tidak demikian.
Penduduk Najed menggunakan
panggilan Syaikh atas setiap
ahli ilmu, dikarenakan budaya
antara kami, penduduk al-Hijaz
dan Penduduk Najed berbeda
dalam banyak sisi, dan
diantaranya adalah sisi ini.
Pengarang tersebut tidak
memikirkan hal itu, karena dia
tidak menelitinya. Maka tidak
terbersit dalam pikiran sama
sekali bahwa penduduk Najed
dan al-Qoshim -yang ibnu Sa’di
berasal dari mereka-, tidak
pernah mengucapkan kalimat
sayyid, maka terbongkarlah
tipu daya dan kedustaan
pengarang kisah ini.
Tujuan Periwayatan
tersebut:
Kisah fiktif ini tidaklah disusun
tiba-tiba, atau tanpa tujuan
yang penulisnya berharap bisa
merealisasikannya. Akan tetapi
–menurut kami- terdapat
berbagai tujuan dan dia
berusaha untuk
merealisasikannya, diantaranya
adalah;
Pertama, sampai kepada
disyariatkannya keumuman
tabarruk.
Penuntut ilmu pada umumnya
mengetahui bahwa terdapat
satu kelompok yang berusaha
keras dengan segenap
kekuatan yang diberikan
kepadanya untuk menetapkan
tabarruk (ngalap berkah)
dengan kuburan Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, serta
beristighatsah dengannya dan
dengan orang-orang shalih.
Mereka berdalil dengannya
untuk membolehkan
bertabarruk dengan kuburan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
sesungguhnya mereka
mengatakan pada sisi lain, jika
Ka’bah diberkahi sementara dia
adalah sekumpulan batu, maka
apakah kedudukan Ka’bah bila
dibandingkan dengan Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang
merupakan makhluk Allah paling
utama? Mereka juga
mengatakan, jika seorang
muslim sangat mulia di sisi Allah
dibanding Ka’bah, maka
bagaimana kedudukan Ka’bah
bila dibandingkan dengan para
wali dan orang-orang shalih?
Maka akal mereka pun –mudah-
mudahan Allah memberikan
hidayah kepada mereka-
mengambil kesimpulan jika
Ka’bah diberkahi, dan
ditabarruki, maka bertabarruk
dengan para Nabi dan para wali
lebih utama untuk dibolehkan.
Dan tidak diragukan lagi bahwa
kita tidak menyetujui mereka
atas bolehnya bertabarruk
dengan Ka’bah. Seandainya saja
bukan karena ittiba’ (mengikuti
sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam) maka pastilah
mencium hajar aswad adalah
bid’ah. Dan adalah Umar t
berkata,
ﺇِﻧِّﻲْ ﺃَﻋْﻠَﻢُ ﺃَﻧَّﻚَ ﺣَﺠَﺮٌ ﻻَ ﺗَﻀُﺮُّ ﻭَﻻَ
ﺗَﻨْﻔَﻊُ ﻭَﻟَﻮْﻻَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠﻰَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺒَّﻠَﻚَ ﻣَﺎ ﻗَﺒَّﻠْﺘُﻚَ
“Sesungguhnya aku tahu bahwa
kamu adalah sebuah batu, yang
tidak bisa mendatangkan
madharat dan tidak bisa
memberikan manfaat,
seandainya bukan karena Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menciummu, maka aku tidak
akan menciummu.”
Oleh karena itulah, tidak boleh
mencium kelambu Ka’bah, atau
batu-batu ka’bah, atau rukun
Yamani. Kita, saat mengusap
batu rukun Yamani misalnya,
maka itu adalah untuk
beribadah, bukan untuk mencari
berkah. Mencium hajar aswad
pun demikian, bukan untuk
meraih berkah, akan tetapi
sebagai bentuk ketaatan
kepada Allah, dan mengikuti
syari’atn-Nya. Dan ucapan Umar
Radhiallahu ‘Anhu terdahulu
adalah sebaik-baik dalil.
Kedua, menampakkan ulama
shufi sebagai orang yang lebih
alim dari ulama wahhabiy. (
[1])
Pengarang kisah tersebut
bersungguh-sungguh dalam
merendahkan ilmu dan
kedudukan as-Syaikh bin Sa’diy.
Dan menampakkannya di
hadapan as-Sayyid ‘Alawiy Maliki
seperti seorang murid kecil
yang belajar dari ustadznya.
Dan sesungguhnya saya
katakan demi membela as-
Sayyid ‘Alawiy Maliki yang
sekali-kali tidak mungkin beliau
berakhlak dengan akhlaq yang
buruk ini dalam pergaulannya
dengan para ulama, terutama
terhadap orang yang lebih
banyak ilmu dan lebih tua
usianya. Sayyid ‘Alawiy Maliki
Rahimahullah dikenal di antara
penduduk Makkah dengan adab
dan akhlaq tingginya. Dan
pengarang telah mensifatkan
duduknya as-Syaikh bin Sa’di di
sisi as-Sayyid ‘Alawi bahwa dia
duduk dengan adap yang
agung. Kemudian dia
menampakkan as-Syaikh Sa’di
mengambil ilmu dari as-Sayyid
‘Alawiy saat sang pengarang
menjadikan as-Syaikh bin Sa’di
berkata, ‘Bagaimana kita bisa
lalai dari ini?’ kemudian dia
berterima kasih atas ilmu yang
dia belajar darinya. Dan saat dia
ingin pamitan, as-Sayyid ‘Alawiy
menghentikannya dan
memerintahkannya untuk pergi
ke tempat tersebut, dan
bertabarruk dengan air yang
turun dari talang Ka’bah, lalu
Syaikh Ibnu Sa’di melakukannya.
Permasalahannya sekarang
bukanlah pada pengarang akan
tetapi pada akal orang yang
membenarkan riwayat lemah
seperti riwayat ini. Seandianya
saja pengarang tidak
mengetahui kebodohan dan
sedikitnya ilmu orang yang akan
menukil riwayat ini untuk
mereka, dia tidak akan berbuat
lancang atas mereka. Dia tidak
hanya telah menyalahi hak as-
Sayikh bin Sa’di, akan tetapi dia
juga telah menyalahi hak as-
Sayyid ‘Alawiy Maliki, dan juga
hak manusia yang telah dia
manfaatkan dan peralat,
seakan-akan mereka tidak
punya akal, membenarkan
segala sesuatu yang dikatakan
kepada mereka tanpa
konfirmasi.
Ketiga; demi kemenangan atas
dakwa salafiyah.
Setelah dakwah salafiyah yang
mengajak kepada pembenahan
aqidah, serta mencabut
kebid’ahan dan kembali
berpegang teguh dengan
kitabullah dan sunnah Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
telah mendapatkan pertolongan
besar, dan jejak dakwah
mereka benar-benar bisa
dirasakan di medan dakwah
sekalipun masa dakwahnya
pendek, banyak di antara da’i-
da’i kebatilan yang merasa rugi
dengan penyebaran kelompok
ini di setiap tempat, dan
semakin bertambah kemarahan
mereka dengan keluarnya
banyak dari para pengikutnya
ke barisan kelompok ini,
sementara tidak ditemukan
para pengikut manhaj salaf
yang bergabung dengan
mereka. Yang demikian karena
mustahil bagi orang yang telah
mengetahui sunnah yang shahih
untuk kembali kepada kelompok
lamanya. Semua ini menjadikan
marah kelompok tersebut yang
mengajak dengan berpegang
pada adat agama, sebagaimana
mereka mewarisinya dari
bapak-bapak, dan ulama-ulama
mereka. Agama menurut
mereka adalah kebiasaan,
bukan ibadah. Yang menjadikan
orang-orang ghuluw di antara
mereka menyusun hikayat
bikinan seperti ini. Maka Allah
membantah tipu daya mereka di
leher mereka, mudah-mudahan
Allah memberikan hidayah
kepada mereka dan kita semua.
Aamiin.
Diagnosa Kejiwaan dan
Psikologi
Saat kita mengikuti cerita
buatan lagi dusta seperti ini,
dan bagaimana mereka terbang
dengan kegembiraan, seolah
merasakan kebahagiaan besar
karenanya maka kita bisa
menyimpulkan secara ilmiah, dan
dengan ringkas, bahwa pada
diri mereka terdapat simpul
kekurangan, dan perasaan
takut, yaitu bahwa jalan
keberagamaan mereka selalu
membutuhkan (merindukan dan
mendambakan) penguat-
penguat dan penenang-
penenang, agar para pengikut
mereka merasa puas dengan
jalan keberagamaan mereka.
Sesunggungguhnya kebahagiaan
berlebihan yang mengenai
mereka karena penguat dan
penenang ini benar-benar
sebuah petunjuk bahwasannya
mereka selalu hidup dalam
keadaan takut dan gelisah dari
berpalingnya pengikut mereka
untuk mengikuti manhaj salafus
shalih. Dikarenakan mustahil
bagi orang yang mengetahui
manhaj salafus shalih mau
menerima selainnya.
Oleh karena itu, ada dari
mereka yang sengaja membuat
pahlawan khayalan dan
menyanyikannya. Lalu mereka
pun merayakan kemenangan
semu tersebut. Semua hal ini
disebabkan oleh perasaan
rendah dan kurang. Lalu
mereka melupakan kemenangan
hakiki, yaitu mengikuti al-Qur`an
yang mulia dan sunnah shahihah
dengan pemahaman salafus
shalih, bukan dengan
pemahaman kisah-kisah bikinan,
cerita dusta, dan mimpi
syaithani (dari godaan setan).
Perbandingan Antara as-
Syaikh Sa’diy dan as-
Sayyid ‘Alawiy Malikiy:
Kami, saat kami hidup sejaman
dengan dua Syaikh, maka kami
mampu membangun satu hukum
(kesimpulan), serta menentukan
siapa yang lebih ‘alim dari yang
lain, tanpa melihat karya tulis
masing-masing. Karena kadang
orang yang sedikit karyanya
lebih banyak ilmunya dari orang
yang banyak karyanya. Akan
tetapi kami, saat kami ingin
membandingkan kadar keilmuan
dua syaikh tersebut yang kami
tidak sejaman dengan mereka,
kami tidak bisa –biasanya-
kecuali dengan merujuk kepada
karya tulis masing-masing. Pada
saat merujuk kepada karya-
karya as-Syaikh ‘Abdurrahman
bin Sa’diy kita menemuinya lebih
besar. Cukuplah diantaranya
adalah tafsir al-Qur`anul Karim
yang berjudul Taisirul Karimil
Mannan dalam delapan jilid, dan
karya itu menyamai semua
kitab-kitab as-Sayyid ‘Alawiy
Maliki. Maka lihatlah kepada
orang yang dia memiliki delapan
jilid tentang Tafsir al-Qur`anul
Karim, lalu pengarang kisah itu
menjadikannya seperti seorang
murid bagi as-Sayyid ‘Alawiy
Maliki! Bahkan dia
menjadikannya mendengar
ayat-ayat dari as-Sayyid ‘Alawi
seakan-akan dia baru
mendengarnya, dan belum
memahami maknanya -
sementara dia adalah pemiliki
kitab tafsir- kecuali saat as-
Sayyid ‘Alawiy menjelaskannya
kepadanya! Subhanallah…!!!
Sebagaimana akan tampak jelas
bagi setiap peneliti dan dengan
mudah, saat dia memperhatikan
kitab-kitab as-Sayikh bin Sa’diy,
kekuatan, keluasan dan
kedalaman ilmu beliau yang
membuat musuh-musuhnya
marah. Sungguh beliau dikenal di
Masjidil Haram bahwa jika beliau
berbicara, maka yang
mendengar beliau akan
berharap agar beliau tidak diam
karena kefashihan, dan
kekuatan ilmu beliau
sebagaimana yang dituturkan
oleh orang yang sezaman
dengan beliau. Kemudian
datanglah penulis kisah dusta
tersebut dan menjadikan ulama
besar ini sebagai seorang murid
kecil di hadapan as-Sayyid
‘Alawiy Maliki sementara beliau
lebih tua dua puluh tahun
darinya. Dimana as-Sayikh bin
Sa’di dilahirkan pada tahun
1889 M, sementara as-Sayyid
‘Alawiy Maliki pada tahun 1910
M. Yaitu saat as-Sayikh bin
Sa’di tengah menyampaikan
berbagai pengajian dan
pelajaran, kala itu as-Sayyid
‘Alawiy adalah seorang
penuntut ilmu yang masih terus
mengikuti pelajarannya. Maka
jadilah hujjah kami lebih kuat
seandainya kami yang membuat
kisah tersebut, dan kami
jadikan as-Sayyid ‘Alawiy
tampak sebagai seorang murid
bagi as-Sayikh bin Sa’di di
dalamnya. Akan tetapi kami
tidak melakukannya karena
kami tidak merasakan adanya
problem kekurangan,
walhamdulillah.
Perlu diperhatikan, bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah
menetapkan penerimaan dan
penyebaran kitab-kitab as-
Syaikh bin Sa’di diantara kaum
muslimin. Hampir-hampir tidak
ditemukan satu perpustakaan
keIslaman di negeri Islam dan
lainnya kecuali di dalamnya
terdapat sejumlah kitab-
kitabnya, dan yang paling
pokok adalah Taisirul Karimil
Mannan¸ sementara sebaliknya,
kami tidak menemukan
pengaruh apapun bagi kitab-
kitab as-Sayyid ‘Alawiy Maliki di
perpustakaan-perpustakaan
Islam. Jika ditemukan, maka itu
pun jarang. Karena kitab beliau
tidak menyebar sebagaimana
kitab-kitab as-Syaikh bin Sa’di.
Dan termasuk perkara yang
mengherankan adalah seorang
laki-laki yang pada kisah
tersebut tampak lebih mengerti
dari para sahabat, tabi’in, dan
para imam ternyata tidak
ditemukan pengaruhnya di umat
ini pada hari ini, sama saja
apakah karyanya yang
menyebar atau kajiannya yang
tersimpan. Ini bukan berarti
menyepelekan ilmu as-Sayyid
‘Alawiy Rahimahullah, akan
tetapi kita hanyalah
mempersoalkan satu kenyataan.
Risalah saya kepada umat
ini:
Setelah pembahasan ilmiah
untuk membantah syubhat ini,
menjadi jelaslah bagi semua
orang kadar kedustaan
sebagian mereka serta
keberaniannya untuk
pemalsuan, dan pembuatan
kisah-kisah dusta. Maka
seandainya mereka itu berada
pada zaman orang yang
mengumpulkan hadits, dan para
ulama al-Jarh wat-Ta’dil, maka
pastilah para ahli al-Jarh wat-
Ta’dil itu akan berkata tentang
mereka -dalam kitab-kitab
mereka-, ‘Mereka pendusta,
pemalsu hadits, tidak diterima
dari mereka tebusan apapun.’
Sementara kita dapati mereka
pada hari ini memimpin majelis-
majelis ilmu, wala haula wala
quwata illa billah.
Bukan hanya sekali ini mereka
membikin kisah-kisah dusta dan
istidlal-istidlal batil atas para
pengikut manhaj salaf, bahkan
mereka terus menerus
menyuntik medan dakwah
dengan banyak kisah khayalan,
kebohongan dan kedustaan.
Andai saja mereka
mencukupkan diri dengan yang
demikian, bahkan lebih dari itu
mereka menyematkan tuduhan
dusta atas para pengikut
manhaj salaf, seolah menjadikan
seluruh usaha ini adalah proyek
mereka dalam kehidupan ini.
Mereka tipu diri mereka sendiri,
serta waktu mereka
karenanya. Lantas mereka
pecah persatuan umat ini, dan
menambah perselisihannya.
Maka buah dari yang demikian
adalah terus berlarutnya
kebencian, dan permusuhan
seraya berkeyakinan bahwa
mereka, dengan yang demikian,
tengah memberikan pelayanan
kepada sunnah Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Sementara
sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam berlepas diri dari
perubuatan-perbuatan mereka.
Lalu untuk kemaslahatan
siapakah apa yang telah
mereka lakukan itu? Dan
apakah dengan perbuatan
tersebut mereka menutup luka
umat dan menghimpun kembali
urusan mereka yang terpecah
belah?
Sesungguhnya umat pada hari
ini lebih butuh kepada ukhuwah
dan penyatuan barisan di
hadapan musuh-musuhnya, dan
lebih membutuhkan penebaran
kebaikan, serta penyemaian
cinta di antara generasi-
generasi penerusnya. Terutama
di bawah bayang-bayang
konspirasi musuh-musuh yang
terang-terangan, serta
penjajahan mereka terhadap
umat Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Namun
demikian, hal itu tidaklah
menghalangi kita untuk saling
berdialog dalam permasalahan
khilaf (yang kita perselisihkan)
dengan metode ilmiah dan
damai, dengan berpegang
dengan dalil, hujjah, dan bukti
dari al-Qur`anul Karim dan
sunnah nabi yang shahih. Kita
saling menjaga ihtiram
(pemuliaan), dan penghargaan
sebagian kita terhadap
sebagian yang lain, seraya
bertolak dari landasan al-Imam
as-Syafi’i Rahimahullah:
ﺇِﻥْ ﺻَﺢَّ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚُ ﻓَﻬُﻮَ ﻣَﺬْﻫَﺒِﻲْ
“Jika hadits tersebut shahih,
maka itu adalah madzhabku.”
Kami tidak ingin berdialog
bersama dengan saudara-
saudara kami dengan tujuan
untuk mengalahkan dan
membela diri (menang-
menangan), justru kami
memohon kepada Allah agar
menjadikan kebenaran itu
mengalir dari lisan mereka,
kemudian kami mengikutinya.
Dan kami di majalah Qiblati
membuka untuk mereka dan
yang lain untuk bedialog dalam
masalah furu’ yang kita
berselisih, kemudian silakan
masing-masing dari kita
menyampaikan dalilnya, yang
setelahnya marilah kita jadikan
hukum bagi Allah, kemudian bagi
para ulama yang obyektif.
Sesungguhnya saya, ketika
mengatakan ucapan ini, saya
mengetahui dengan jujur dan
ikhlas bahwa banyak di antara
orang-orang yang
menyebarkan berita dusta dan
bikinan ini. Mereka
menyebarnya dengan niat baik,
terutama sebagian mereka
memiliki usaha besar yang patut
disyukuri dalam menghadapi
Syi’ah, Ahmadiyah, dan sekte-
sekte sesat lainnya. Dan kami
sama sekali tidak akan pernah
mengingkarinya, bahkan kami
berdo’a agar mereka
mendapatkan taufik. Maka
mudah-mudahan Allah membalas
mereka dengan sebaik-baik
balasan.
Wahai umat Islam…!
Sekalipun riwayat bikinan ini
telah menjadi jelas
kedustaannya bagi Anda
sekalian, serta kadar
kezhaliman yang ditimpakan
kepada kami, namun demikian
kami tetap mengulurkan
tangan-tangan kami, seraya
memaafkan, dan meminta
kepada orang-orang ikhlas lagi
berakal dari mereka untuk
membuka lembaran baru dalam
hubungan di antara kita. Maka
marilah kita tutup masa lalu dan
segala isinya, dan marilah kita
menjadi generasi masa kini.
Sebagian kita menyayangi
sebagian yang lain sebagaimana
sifat orang-orang mukmin yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala
sebutkan dalam al-Qur`anul
Karim [
ﺭُﺣَﻤَﺎﺀُ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ] ‘saling
mengasihi di antara mereka’.
Sesungguhnya saya bersaksi
kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, bahwa saya mengatakan
ucapan ini dengan jujur, kita
semua adalah saudara, tali
agama ini tengah mengumpulkan
kita, dan itu akan terus seperti
itu, kita mau atau
mengabaikannya. Maka marilah
kita bertakwa kepada Allah
terhadap diri-diri kita, dan
generasi setelah kita… Inilah
tangan kami terbentang bagi
setiap orang yang menginginkan
saling memaafkan dan
persaudaraan.
Ya Allah, berikanlah kepada jiwa
kami, ketakwaan, dan
kesuciannya. Engkau adalah
sebaik-baik Dzat yang
mensucikannya, Engkaulah wali
dan penolongnya. Ya Allah,
berikanlah ilham kepada kami
kepada petunjuk kami, serta
selamatkanlah kami dari
keburukan syaitan, dan
keburukan diri-diri kami, serta
janganlah Engkau pasrahkan
kami kepada diri-diri kami
sekejap mata pun. Ya Allah,
berikanlah petunjuk kepada
kami, dan saudara-saudara
kami kepada perkara yang di
dalamnya terdapat segala
kebaikan dan kemaslahatan.
(AR)*
[1] Kami ingatkan bahwa tidak
boleh menggunakan satu nama
dari nama-nama Allah
Subhanahu wa Ta’ala untuk
menyebut sebagian dari
makhluk-Nya, apakah sendirian,
atau sekelompok, apakah untuk
celaan atau yang lainnya. Maka
ucapan Wahhaby aslinya adalah
dari asma Allah al-Wahhab,
sehingga penggunaan nama ini
atas seseorang mengandung
unsur perbuatan buruk
terhadap Allah Subhanahu wa
Ta’ala, serta lancang terhadap
asma-asma-Nya sekalipun hanya
penisbatan saja. Maka
bagaimana nama Wahhaibiy
digunakan sebagai pelecehan?
Dan kita qiyaskan atas hal ini
kepada asma Allah yang lain
seperti Rahmaniy, Quddusiy…
dst. Mudah-mudahan Allah
mengampuni para ulama yang
telah wafat, dari golongan yang
mengulang-ulang penamaan
Wahhabiy tanpa memahami atau
mengetahui bahayanya.
Oleh: Mamduh Farhan al-Buhairi
Sumber:
http://qiblati.com/
bantahan-syubhat-%e2%80%
98alawi-al-maliki-dan-%e2%80%
98abdurrahman-bin-sa%e2%80%
99di.html