by Abu Muawiah Ahkam Al-Muhdits (2) Berikut kelanjutan dari pembahasan yang telah berlalu. Sebelumnya telah dibahas mengenai hukum berzikir dan hukum membaca Al-Qur`an bagi yang berhadats. Sekarang kami akan membahas hukum menyentuh mushaf, hukum masuk masjid, dan hukum sujud tilawah. Berikut uraiannya: 1. Hukum menyentuh mushaf Al-Qur`an. Yang dimaksud dengan mushaf adalah semua wadah yang Al- Qur`an tertulis di dalamnya, baik satu Al-Qur`an penuh maupun sebagian darinya, sampai walaupun yang tertulis hanya satu ayat yang misalnya ditulis di selembar kertas, tapi dengan catatan tidak ada ucapan manusia bersamanya, maka yang seperti ini mempunyai hukum mushaf. Asy-Syarhul Mumti (1 /315) Masalah ini mempunyai dua bentuk: 1. Jika Al-Qur`an berbaur dengan ucapan manusia, maka dalam hal ini ada tiga perkara yang dibahas oleh para ulama: a. Menyentuh kitab-kitab tafsir. Yang kuat dalam masalah ini adalah bolehnya. Ini adalah pendapat sebagian Al-Hanafiah dan merupakan pendapat Al- Malikiah dan Ahmad -dalam satu riwayat-. Mereka berdalil dengan riwayat- riwayat yang menyebutkan Nabi mengirim surat kepada orang- orang kafir yang di dalamnya tertulis sebagian ayat disamping ucapan beliau. Mereka juga menyatakan bahwa tafsir tidak dinamakan sebagai mushaf sama sekali, sehingga dia tidak mendapatkan hukum pemuliaan sebagai layaknya mushaf. b. Menyentuh kitab-kitab hadits, fiqhi, dan selainnya. Al-Malikiah, Al-Hanabilah, serta sebagian Al- Hanafiah dan sebagian Asy- Syafi'iyah berpendapat bolehnya hal ini. Inilah pendapat yang kuat berdasarkan dalil yang tersebut di atas. c. Menyentuh terjemahan Al- Qur`an. Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat Al-Malikiah, Asy-Syafi'iyah, dan Al-Hanabilah yang menyatakan bolehnya. Mereka berdalil bahwa terjemahan Al-Qur`an bukanlah Al-Qur`an karena Al-Qur`an itu adalah apa yang berbahasa arab. Faidah: Asy-Syaikh Ibnu Al- Utsaimin berkata, "Adapun jika jumlah huruf tafsir (atau ucapan manusia, pen.) sama banyaknya dengan jumlah huruf Al-Qur`an, maka jika sesuatu yang boleh berbaur dengan sesuatu yang terlarang dan keduanya tidak bisa dipilah, maka harus didahulukan larangan, sehingga yang seperti ini diberikan hukum Al-Qur`an." Asy-Syarhul Mumti' (1 /323) 2. Jika Al-Qur`an tidak berbaur dengan ucapan manusia , dan ini dinamakan mushaf. Maka dalam masalah ini juga ada dua keadaan: a. Menyentuhnya tanpa pengalas/pelapis. Ada tiga pendapat di kalangan ulama dalam hal ini: 1. Tidak boleh menyentuh. Ini adalah mazhab mayoritas ulama dari kalangan keempat mazhab, dan ini yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Al-Utsaimin. Di antara dalil-dalil mereka adalah: a. Firman Allah Ta'ala, "Tidak ada yang menyentuhnya kecuali mereka-mereka yang disucikan," (QS. Al-Waqiah: 79) yakni: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur`an kecuali orang-orang yang disucikan dari hadats akbar maupun ashghar. Sanggahan: Yang benarnya kata 'nya' pada kata menyentuhnya kembali kepada ayat sebelumnya yaitu, "Di dalam kitab yang terjaga," (QS. Al-Waqiah: 78) yakni: Mungkin dia adalah al-lauh al-mahfuzh dan mungkin juga dia adalah lembaran-lembaran yang ada di tangan para malaikat, sebagaimana yang akan disebutkan dalam surah Abasa. Sedangkan yang dimaksud dengan 'mereka yang disucikan' adalah para malaikat, sebagaimana pada firman Allah Ta'ala pada surah Abasa, "Sekali- kali tidak, sesungguhnya dia (Al- Qur`an) adalah peringatan, bagi siapa yang mengingatnya, dia terdapat dalam lembaran- lembaran yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para perantara (malaikat), yang mulia lagi baik." Inilah yang benar, karena Allah menyatakan 'yang disucikan' dan hamba-Nya yang disucikan adalah para malaikat. Seandainya yang Allah maksudkan adalah orang-orang yang tidak berhadats, niscaya Dia akan menyatakan: 'yang bersuci'. Ala kulli hal, kalaupun kita katakan kata 'nya' di sini bisa juga bermakna Al-Qur`an dan 'yang disucikan' juga bisa bermakna yang tidak berhadats, maka berarti ayat ini mempunyai dua kemungkinan makna. Sementara kaidah ushul -akan disebutkan- bahwa jika sebuah dalil mempunyai dua kemungkinan makna atau lebih yang sama kuat dan tidak bisa dipadukan maka tidak dibenarkan berdalil dengannya. b. Hadits tentang kitab Nabi - shallallahu alaihi wasallam- yang beliau kirim kepada Amr bin Hazm dan di dalamnya tertulis, "... dan tidak ada yang menyentuh Al- Qur`an kecuali orang yang thahir (suci)." (HR. Malik hal. 611 , An- Nasai: 8 /58 , Ad-Daraquthni: 3 /209 , Al-Baihaqi: 8 /80 , dan Al-Hakim: 1 /395) Hadits ini diperselisihkan akan keshahihannya: Imam Abu Daud dan Ibnu Hazm melemahkannya, sementara dia dishahihkan oleh Imam Asy-Syafi'i, Ahmad, Al- Hakim, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, Al- Uqaili, dan Ibnu Abdil Barr. Dan kami lebih condong kepada para ulama yang menshahihkannya, akan tetapi dia shahih dengan seluruh jalan-jalannya. Hanya saja kata 'thahir' dalam syariat mengandung empat kemungkinan makna: Bisa bermakna muslim, bisa bermakna suci dari hadats akbar, bisa bermakna suci dari hadats ashghar dan bisa bermakna orang yang tidak terkena najis pada badannya. Dalil dari makna yang pertama adalah hadits, "Sesungguhnya mukmin itu bukanlah najis," (HR. Al-Bukhari: 1 /74 ,85 dan Muslim: 1 /282 ) yakni: Suci. Dalil dari makna yang kedua adalah ayat, "Jika kalian junub maka bersucilah," (QS. Al-Maidah: 6). Dalil dari makna yang ketiga adalah hadits mengusap di atas khuf, "Sesungguhnya saya memasukkan keduanya (kaki) dalam keadaan suci," (HR. Al- Bukhari: 1 /59 dan Muslim: 1 /230) yakni: Telah berwudhu. Dan dalil dari makna yang ketiga adalah ijma'. Kata 'thahir' di sini tidak bisa dimaknakan dengan keempat makna ini secara bersamaan karena makna yang pertama justru mendukung pendapat yang kedua, bahwa yang boleh menyentuhnya hanya mukmin walaupun dia junub. Berhubung hadits ini mempunyai kemungkinan yang sama kuat lagi tidak bisa dikompromikan maka tidak dibenarkan untuk berdalil dengannya, sebagaimana kaidah yang masyhur di kalangan ulama ushul. Akan tetapi hal ini dibantah oleh para ulama yang melarang orang yang berhadats untuk menyentuh Al-Qur`an dengan mengatakan: Yang dimaksud dengan 'thahir' di sini adalah yang tidak berhadats akbar dan ashghar', dengan dalil lafazh lain dari hadits ini, "Kecuali di atas thaharah." (HR. Abdurrazzaq no. 1322 ) Hadits ini juga diriwayatkan dari sahabat Hakim bin Hizam dengan lafazh, "Kecuali kamu di atas thaharah." (HR. Ad- Daraquthni: 121) Ditambah lagi bahwa yang diajak bicara di sini adalah Amr bin Hazm dan Hakim bin Hizam yang keduanya adalah seorang mukmin, dari sini kita menetapkan bahwa yang dimaksud dengan 'thahir' di sini bukan bermakna mukmin tapi yang suci dari kedua hadats. Karenanya hadits ini bisa dijadikan sebagai dalil akan tidak bolehnya orang yang berhadats untuk menyentuh Al-Qur`an. c. Hadits Ibnu Umar bahwa Nabi - shallallahu alaihi wasallam- melarang membawa Al-Qur`an di negeri musuh dan beliau bersabda, "Khawatir akan diambil oleh musuh." (HR. Al-Bukhari: 4 /15 dan Muslim: 3 /1490) Dijawab bahwa hadits ini hanya menunjukkan larangan membawa Al-Qur`an ke daerah musuh karena khawatir mereka akan menghinakannya jika jatuh ke tangan mereka. Tidak ada sama sekali keterangan di dalamnya yang menjelaskan bahwa Al- Qur`an tidak boleh disentuh oleh orang yang berhadats akbar atau kafir. 2. Boleh menyentuhnya dengan punggung telapak tangan, tidak boleh dengan telapaknya. Ini adalah pendapat Al-Hakam dan Hammad. Mereka menyatakan karena yang dipakai menyentuh adalah telapak tangan, karenanya larangan diarahkan ditujukan padanya. Ini dibantah bahwa kata 'menyentuh' di sini bersifat mutlak, baik dengan telapak tangan maupun punggungnya. 3. Boleh menyentuhnya secara mutlak. Ini adalah pendapat sekelompok ulama salaf di antaranya: Said bin Jubair, Mujahid, Adh-Dhahhak, dan Abu Al-Aliyah. Ini juga adalah pendapat Daud dan Ibnu Hazm, dan yang dikuatkan oleh Syaikh Al-Albani dan Syaikh Muqbil. Berikut dalil-dalil mereka: a. Hadits Aisyah yang telah berlalu ketika dia haid dalam keadaan telah ihram untuk haji, "Lakukan apa saja yang dilakukan oleh orang yang berhaji, kecuali tawaf di Ka'bah sampai kamu suci." Dijawab bahwa hadits ini bersifat umum dan dikecualikan darinya menyentuh Al-Qur`an sebagaimana dikecualikan darinya shalat dan tawaf. b. Menyentuh Al-Qur`an termasuk dari amalan kebaikan yang dianjurkan, karenanya siapa yang melarangnya maka hendaknya dia mendatangkan dalil yang shahih lagi tegas akan pelarangannya. Dan di sini tidak ada satu pun dalil yang shahih lagi tegas menunjukkan hal itu. Dijawab: Hadits Amr bin Hazm di atas adalah hadits yang shahih dari seluruh jalannya dan isinya menunjukkan tidak bolehnya menyentuh Al-Qur`an bagi orang yang berhadats. Tarjih: Yang rajih dalam masalah ini adalah pendapat pertama, ini yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, Syaikh Abdurrahman bin Sa'di, dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin. Dan diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Umar, Salman, dan Sa'ad bin Abi Waqqash - radhiallahu anhum- bahwa ketiganya melarang orang yang berhadats untuk menyentuh Al- Qur`an, dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka ini. b. Menyentuhnya dengan pelapis. Ada tiga pendapat dalam masalah ini, akan tetapi yang rajih dalam masalah ini adalah pendapat yang membolehkan karena dalil yang datang hanya melarang menyentuhnya secara langsung. Ini adalah pendapat sebagian Al- Hanabilah dan salah satu sisi dalam mazhab Asy-Syafi'iyah. 2. Hukum masuk dan berdiam di dalam masjid. Ada dua pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini: 1. Tidak boleh wanita haid dan yang junub untuk masuk dan berdiam di dalam masjid. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dan di antara mereka adalah mazhab yang empat. Di antara dalil-dalil mereka: a. Ayat ke-43 dari surah An- Nisa`, "Dan tidak juga orang yang junub kecuali orang yang lewat sampai kalian mandi." Hukum ini juga berlaku bagi wanita yang haid dan nifas. Akan tetapi pendalilan dengan ayat ini kurang tepat karena dalam ayat ini sama sekali tidak disinggung tentang masjid, justru yang tersebut sebelumnya adalah shalat. Karenanya makna ayat ini adalah: Dan tidak juga orang yang junub untuk mendekati shalat kecuali orang yang lewat (musafir) yang terkena junub dan dia tidak menemukan air maka hendaknya dia bertayammum. Ini adalah penafsiran yang disebutkan oleh Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Mas'ud - radhiallahu anhum- b. Hadits Aisyah secara marfu', "Sesungguhnya saya tidak menghalalkan masjid bagi wanita haid dan orang yang junub." (HR. Abu Daud: 1 /157 ) Dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1 /212) dari Ummu Salamah, dan Ibnu Hazm juga menyebutkannya dari Aisyah. Akan tetapi yang meriwayatkan hadits ini dari keduanya adalah Jasrah bintu Dujajah, dan keadaannya diperselisihkan oleh para ulama ahli hadits. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam At-Taqrib berkata, "Dia maqbulah," yakni diterima haditsnya jika ada yang mendukung tapi jika tidak maka haditsnya lemah, sementara di sini tidak ada rawi lain yang mendukungnya. Karenanya hadits ini dinyatakan lemah oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 193 Kalaupun seandainya dia adalah rawi yang hasan, maka bersendiriannya dia dalam meriwayatkan hadits ini dari Aisyah dan Ummu Salamah adalah hal yang tidak bisa diterima, mana murid-murid senior keduanya dari kalangan imam tabi'in, kenapa tidak ada seorang pun yang meriwayatkan hadits ini dari mereka berdua. Dan bersendiriannya seorang rawi dalam meriwayatkan hadits padahal dia belum sanggup untuk bersendirian adalah termasuk bentuk hadits mungkar sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Al- Muqizhah. Hadits ini telah dinyatakan lemah oleh Ahmad, Al-Bukhari, Al- Baihaqi, Ibnu Hazm, Ibnu Rajab, dan selainnya. c. Hadits Ummu Athiyah dimana Nabi -alaihishshalatu wassalam- menyuruh para wanita keluar ke lapangan untuk shalat id, dan beliau bersabda, "Adapun yang haid maka hendaknya dia menjauhi mushalla kaum muslimin." (HR. Al-Bukhari: 1 /9 ,10 dan Muslim: 2 /605) Sanggahan: Yang dimaksud dengan mushalla di sini adalah shalat itu sendiri dan bukan lapangannya. Ini ditunjukkan dalam riwayat Muslim (2 /606) dengan lafazh, "Adapun para wanita yang haid maka mereka menjauhi shalat dan mereka menyaksikan kebaikan serta doa kaum muslimin." Seandainya yang dimaksud mereka menjauhi lapangan, tentunya tidak ada gunanya mereka disuruh mendatangi shalat id dan mereka tentu tidak akan menyaksikan doa kaum muslimin. 2. Bolehnya mereka masuk ke dalam masjid. Ini adalah pendapat Daud, Ibnu Hazm, dan Al-Muzani. Juga merupakan pendapat Mujahid, Said bin Jubair, Al-Hasan bin Muslim, Qatadah, serta diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Abbas. Ini yang dikuatkan oleh Ibnu Al-Mundzir dan Asy- Syaukani. Berikut di antara dalil-dalil mereka: a. Hadits Aisyah yang telah berlalu tentang haidnya beliau saat telah ihram haji. Dan termasuk amalan jamaah haji adalah keluar masuk masjid, menunjukkan hal ini dibolehkan bagi Aisyah yang tengah haid. b. Adanya seorang wanita yang tinggal di dalam masjid yang bertugas untuk membersihkan masjid (HR. Al-Bukhari no. 458 dan Muslim no. 956). Demikian pula para sahabat yang tinggal di masjid (ahlu ash-shuffah). Sudah dimaklumi bahwa wanita itu pasti mengalami haid dan para sahabat yang tidur di masjid yang merupakan para bujangan pasti akan mengalami junub. Akan tetapi bersamaan dengan itu Nabi -alaihishshalatu wassalam- tidak pernah memerintahkan mereka untuk keluar dari masjid. c. Hadits Aisyah bahwa Nabi - alaihishshalatu wassalam- pernah bersabda kepadanya, "Ambilkan khumrah (sajadah kecil) di masjid," maka Aisyah menjawab, "Saya sedang haid," maka beliau bersabda, "Sesungguhnya haidmu bukan di tanganmu," (HR. Muslim: 1 /245) yakni: Haid itu penentuannya bukan di tanganmu akan tetapi di tangan Allah. d. Kisah diikatnya sahabat Tsumamah bin Utsal -yang ketika itu masih musyrik- di dalam masjid yang pada akhirnya dia masuk islam, dan kisahnya disebutkan dalam riwayat Al- Bukhari dan Muslim. Jika orang musyrik saja bisa masuk ke dalam masjid, apalagi kaum muslimin yang berhadats, tentunya mereka lebih pantas untuk memasukinya. Tarjih: Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat kedua yang menyatakan bolehnya orang yang berhadats besar untuk masuk ke dalam masjid. 3. Hukum sujud tilawah. Tidak ada satu pun dalil yang melarang wanita yang haid dan nifas atau orang yang junub untuk sujud tilawah ketika dia membaca atau mendengar ayat sajadah. Hal itu karena sujud tilawah bukanlah shalat sehingga tidakpersyaratan padanya thaharah sebagaimana pada shalat. Dengan dalil hadits Ibnu Abbas bahwa Nabi - alaihishshalatu wassalam- pernah membaca surah An-Najm lalu beliau sujud tilawah di dalamnya, maka ikut pula bersujud kaum muslimin, kaum musyrikin, jin, dan manusia. (HR. Al-Bukhari no. 4862) Di sini mustahil kita katakan kalau mereka semua dalam keadaan usci dari hadats. Karenanya boleh bagi yang berhadats untuk melakukan sujud tilawah, dan ini adalah pendapat Az-Zuhri dan Qatadah. [Rujukan: Al-Ahkam Al- Mutarattibah ala Al-Haidh wa An- Nifas karya Saleh bin Abdillah Al- Lahim hal. 20-65 , Asy-Syarhul Mumti': 1 / 315-323 , Jami' Ahkam An-Nisa: 1 /174 , 182-189 , 191-198 ]