Home || Back
Hadits Ahad Hujjah dalam Aqidah dan Hukum (1)
Saudaraku kaum muslimin, semoga Allah Subhaanahu Wa Ta'ala merahmati kita semua...
Tulisan ini dibuat sebagai nasehat, dan sebuah upaya pembelaan terhadap Sunnah Nabi yang suci. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta'ala menjadikan amalan ini ikhlas untuk mengharapkan Wajah-Nya semata.
Berdasarkan jumlah orang yang meriwayatkan, hadits terbagi menjadi mutawatir, masyhur, dan ahad. Jika suatu hadits hanya diriwayatkan dari satu orang Sahabat saja, maka itu masuk dalam kategori hadits ahad. Khabar/ berita yang diterima dari satu orang saja disebut sebagai khabar ahad.
Telah berkembang pemikiran sebagian kaum muslimin di sekitar kita bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan landasan dalam masalah aqidah. Pemikiran ini disebar dalam tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah. Orang- orang yang berpendapat demikian tetap berkeyakinan bahwa hadits ahad bisa dijadikan hujjah dalam masalah hukum/ syariat. Subhaanallah. Padahal pembagian yang semacam itu tidak dikenal oleh para Salafus Sholeh, sejak jaman para Sahabat Nabi ridlwanullaahu 'alaihim 'ajmain maupun sampai para imam empat madzhab : Imam Hanafy, Malik, Syafi'i, maupun Ahmad bin Hanbal.
Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullaah - salah seorang guru Ibnu Katsir, ahlut tafsir - menyatakan :
"Pembedaan yang semacam ini adalah batil, dengan kesepakatan umat (para Ulama' terdahulu,pen). Karena sesungguhnya umat Islam senantiasa berhujjah dengan hadits - hadits (ahad) dalam khabar-khabar ilmiyyah (aqidah), sebagaimana mereka berhujjah dengan hadits - hadits dalam masalah tholabiyaat al- 'amaliyyaat (hukum). Apalagi hukum-hukum 'amaliyyah juga mengandung khabar dari Allah bahwasanya Dia mensyariatkan sesuatu, mewajibkannya, dan meridlainya sebagai Dien. Maka syariat dari Allah dan Dien-Nya kembali kepada (kandungan) Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, dan senantiasa para Sahabat Nabi, para Tabi'in, dan para pengikut mereka, serta ulama' ahlul hadits dan sunnah berhujjah dengan khabar-khabar ini dalam masalah Sifat-sifat Allah, taqdir, dan Nama-nama- Nya, serta hukum-hukum. Tidaklah ternukil sama sekali dari mereka (Salafus Sholeh) bahwa mereka membolehkan berhujjah dengannya dalam masalah hukum, tetapi tidak tentang khabar-khabar dari Allah dan Nama-nama-Nya dan Sifat-sifat- Nya. Lalu siapakah pendahulu mereka (orang-orang yang membedakan hujjah hadits ahad dalam masalah hukum saja, tapi tidak dalam masalah aqidah)?
Pendahulu mereka adalah orang- orang filsafat, yang sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya serta para Sahabat Nabi. Akan tetapi justru mereka menghalangi hati untuk mengambil petunjuk dari al-Kitab dan Sunnah dan ucapan-ucapan para Sahabat Nabi, dan mereka berpindah kepada pemikiran- pemikiran para filsafat dan kaidah-kaidah yang dibuat oleh orang-orang yang suka membebani diri (mutakallifin), yaitu yang membedakan antara 2 hal ini... Kemudian mereka mengaku bahwa itu adalah ijma' (kesepakatan) dalam pembedaan dua hal ini... Sebagaimana ucapan mereka : 'sesungguhnya perkara ushul (inti) adalah permasalahan ilmiyyaat (aqidah) sedangkan permasalahan furu' (cabang) adalah permasalahan amalan(hukum)'.
Sesungguhnya pembedaan ini adalah batil juga, karena sesungguhnya yang diharapkan dari permasalahan amaliyah(hukum) adalah dua, yaitu ilmu dan amal, sedangkan yang diharapkan dari permasalahan ilmiyyaah (aqidah) adalah dua: ilmu dan amal (juga). Yaitu (amalan) kecintaan hati dan kebenciannya. Kecintaannya kepada al-haq yang dikandung khabar tersebut dan kebencian terhadap kebatilan yang bertentangan dengannya. Tidaklah amal itu terbatas pada amalan anggota tubuh saja, akan tetapi bahkan amalan hati adalah asal / pokok dari amalan anggota tubuh. Sedangkan amalan anggota tubuh hanyalah mengikutinya. Pada setiap permasalahan ilmiyyah, (dimulai dengan ) keimanan hati, pembenaran, dan kecintaannya. Bahkan hal itu adalah asal/ dasar amalan. Ini adalah hal yang dilalaikan oleh kebanyakan para ahli filsafat dalam masalah keimanan, karena mereka beranggapan bahwa iman adalah pembenaran saja tidak mengandung amalan.
Ini adalah kesalahan besar dan sangat fatal. Karena sesungguhnya orang-orang kafir, mereka mengakui kebenaran Nabi shollallaahu 'alaihi wasallam, tidak ragu terhadapnya. Akan tetapi pembenaran itu tidak dibarengi dengan amalan hati berupa kecintaan terhadap apa yang datang dari Nabi, ridla terhadapnya, kehendaknya, sikap loyalitas dan berlepas diri di atasnya. Janganlah anda mengabaikan masalah ini, karena hal ini sangat penting, yang dengannya anda akan mengetahui hakikat keimanan. Sesungguhnya Sang Pembuat Syariat (Allah) tidaklah mencukupkan kepada orang- orang mukallaf untuk beramal saja tanpa berilmu dalam masalah hukum, dan sebaliknya hanya berilmu saja tanpa beramal dalam masalah aqidah. ( Lihat penjelasannya dalam "al-Hadits hujjatun binafsihi")
Sumber: http://albashirah.wordpress.com
Diposkan pada 07 Juni 2009
Iklan dari Host: