Hadits Ahad Hujjah dalam Aqidah dan Hukum (4-Habis)
Kaidah yang Aneh
Mereka membedakan antara aqidah dengan hukum. Kalau dalam masalah hukum, hadits ahad bisa diamalkan, tapi kalau masalah aqidah, tidak boleh diyakini. Ini suatu hal yang sangat aneh!
Bagaimana menerapkan kaidah mereka ini jika sebuah hadits mengandung unsur aqidah dan hukum (syariat) sekaligus?
Sebagai contoh, hadits yang panjang dari Sahabat an- Nawwaas bin Sam'aan, diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya di Kitab al-Fitan wa asyroothus saa'ah bab dzikrud dajjaal wa shifatuhu wamaa ma'ahu no. 5228). Dalam hadits tersebut dijelaskan tentang turunnya Dajjaal dan sifat- sifatnya (ini adalah 'aqidah). Beliau memerintahkan agar jika bertemu dengan Dajjaal hendaknya membaca awal surat al-Kahfi (ini berkaitan dengan hukum) dan juga beliau memberitahukan bahwa lamanya Dajjal di muka bumi adalah 40 hari. Dari 40 hari itu ada yang satu harinya seperti 1 tahun, ada yang satu harinya seperti 1 bulan, dan ada yang satu harinya seperti 1 Jumat (ini berkaitan dengan aqidah). Para Sahabat kemudian bertanya tentang bagaimana sholat di waktu itu yang 1 harinya seperti 1 tahun? (berkaitan dengan hukum). Rasul menyatakan : اقْدُرُوْا لَهُ قَدْرَهُ.... " Perkirakanlah rentang waktunya..".
Jawaban Nabi ini berkaitan dengan hukum sholat. Sebagian para fuqaha' (ahlul fiqh) mengambil faidah dengan hadits ini tentang keadaan tata cara penentuan waktu sholat bagi orang-orang yang tinggal di daerah kutub dengan waktu malam atau siang yang secara lahiriah kadang berlangsung terus menerus dalam waktu tertentu tidak seperti pada daerah lain yang normal.
Contoh yang lain : hadits dari Ibnu Abbas : مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ...(رواه البخاري) " Pernah pada suatu hari Nabi shollallaahu 'alaihi wasallam melewati 2 kubur, kemudian beliau bersabda : ' Sesungguhnya dua penghuni kubur ini diadzab, tidaklah mereka diadzab karena permasalahan yang besar. Adapun salah satunya, tidaklah dia beristinja'/ menggunakan penutup setelah kencing, sedangkan yang lain karena selalu mengadu domba"(H.R al- Bukhari)
Dalam hadits ini terkandung 2 hal sekaligus, yaitu masalah aqidah dan hukum. Dalam masalah aqidah, kita harus mengimani adanya adzab kubur. Sedangkan dalam masalah hukum syariat adalah beristinja' menggunakan penutup ketika kencing dan menghindari perbuatan adu domba, agar tidak bernasib sama seperti 2 penghuni kubur tersebut.
Contoh lain, hadits dari Abdullah bin Mas'ud : عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَصَابَ أَحَدًا قَطُّ هَمٌّ وَلَا حَزَنٌ فَقَالَ } اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ صَدْرِي وَجِلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي { إِلَّا أَذْهَبَ اللَّهُ هَمَّهُ وَحُزْنَهُ وَأَبْدَلَهُ مَكَانَهُ فَرَجًا قَالَ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نَتَعَلَّمُهَا فَقَالَ بَلَى يَنْبَغِي لِمَنْ سَمِعَهَا أَنْ يَتَعَلَّمَهَا "Dari Abdullah bin Mas'ud beliau berkata : Telah bersabda Rasulullah shollallaahu 'alaihi wasallam : "Tidaklah seseorang tertimpa perasaan cemas atau sedih kemudian berdoa (yang artinya) : 'Yaa Allah sesungguhnya aku adalah hambaMu, dan anak dari seorang hambaMu laki-laki, dan anak dari seorang hambaMu perempuan. Ubun-ubunku ada di TanganMu. Telah terjadi HukumMu terhadapku, sungguh adil KetetapanMu. Aku memohon dengan seluruh Nama Yang Engkau miliki, Yang Engkau beri Nama diriMu denganNya, atau yang Engkau beritahukan kepada salah seorang dari makhluqMu, atau yang Engkau turunkan dalam KitabMu, atau yang ada dalam perbendaharaan Ilmu Ghaib di sisiMu (yang hanya Engkau saja yang tahu), agar Engkau menjadikan AlQur'an sebagai pemuas hatiku, cahaya dadaku, penghilang kesedihanku, dan pelenyap kecemasanku', kecuali Allah akan menghilangkan kecemasan dan kesedihannya dan menggantikannya dengan kelapangan'. Ditanyakan kepada Nabi : Wahai Rasulullah : Apakah sebaiknya kami mengajarkannya kepada yang lain? Beliau menyatakan : Benar, sebaiknya bagi siapapun yang mendengarnya, hendaknya mengajarkan kepada yang lain" (H.R Ahmad,al-Haakim dan Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh keduanya) Saya tidak mendapati jalur sanad hadits ini kecuali dari alQoosim bin Abdurrahman dari Abdurrahman dari Sahabat Ibnu Mas'ud saja. Dalam hadits ini terkandung masalah hukum sekaligus 'aqidah. Masalah hukum yang merupakan sunnah untuk diamalkan adalah lafadz bacaan doa itu untuk menghilangkan kesedihan. Di dalamnya terdapat pula khabar-khabar yang wajib diimani, yaitu demikian adilnya ketetapan (qadla') dari Allah, dan As-Shon'aani menjelaskan dalam kitab Subulus Salaam bahwa dalam hadits ini terkandung dalil pula bahwa Nama Allah tidak terbatas hanya 99, tapi ada Nama-Nama Allah Yang hanya Allah sendiri yang tahu, seperti dalam ucapan hadits di atas :..." atau yang ada dalam perbendaharaan Ilmu Ghaib di sisiMu (yang hanya Engkau saja yang tahu)".
Bagaimana mungkin anda menerapkan hanya sisi hukumnya namun mengabaikan dan tidak meyakini kabar aqidah yang terkandung dalam maknanya ? Sungguh kaidah yang aneh, kalau membedakan antara hukum dengan aqidah dalam masalah ini.
Nasehat
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hadits ahad yang shohih haruslah diyakini dan diamalkan, baik dalam masalah hukum atau aqidah. Jika terdapat suatu hadits ahad yang shohih berdasarkan penelitian para Ulama' hadits, maka harus kita jadikan sebagai hujjah. Kepada saudaraku kaum muslimin yang sebelumnya telah terpengaruh dengan propaganda yang menyatakan bahwa hadits ahad tidak bisa digunakan sebagai hujjah dalam aqidah maka hendaknya bertaubat kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'ala dan mengikuti jejak generasi Salafus Shalih ( Nabi dan para Sahabatnya, tabi'in, dan atbaaut taabi'in, serta para Ulama' ahlul hadits yang mengikuti mereka dengan baik). Saya katakan sebagai 'propaganda' karena - seperti yang dikatakan Ibnul Qoyyim al- Jauziyyah - kaidah semacam itu adalah berasal dari ahli filsafat yang pemikirannya masuk ke dalam Islam.
Semoga Allah merahmati mengampuni para Ulama' yang tergelincir dalam permasalah ini. Sebenarnya kaidah yang menyatakan bahwa hadits ahad tidak bisa digunakan dalam masalah aqidah adalah pemikiran kaum mu'tazilah, orang-orang yang mengutamakan akal/ ra'yu mereka. Ketika mereka mendapati hadits shohih tentang aqidah yang tidak dapat dijangkau akal, mereka menolaknya. Kemudian mereka berdalih bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam masalah aqidah. Seringkali mereka berdalih demikian, bahkan meskipun ternyata setelah diteliti hadits itu adalah mutawatir,, mereka tetap menolaknya.
Padahal seharusnya seorang mu'min harus mengimani seluruh khabar shahih yang datang dari Rasulullah shollallaahu 'alaihi wasallam sebagai konsekuensi ucapan syahadat bahwa beliau adalah utusan Allah. Konsekuensi tersebut membawa kita kepada sikap : mentaati perintah beliau, meninggalkan larangannya, tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan tuntunan dari beliau, dan membenarkan seluruh khabar- khabar dari beliau. Seluruh khabar dari beliau harus kita yakini, sekalipun bertentangan dengan akal kita. Jika ada khabar dari hadits shohih yang bertentangan dengan akal kita, ketahuilah bukan haditsnya yang salah, namun justru akal kita yang tidak bisa menjangkaunya, karena kelemahannya. Jika kita mengimani hadits hanya yang sesuai dengan akal atau hawa nafsu kita saja, tidakkah kita takut termasuk orang-orang yang dicela Allah : أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (البقرة : 85) " Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain ? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat"9 Q.S AlBaqoroh : 65)
Umar bin al-Khottob sangat mencela ashaabur ra'yi, yaitu orang yang menuhankan akal, menafsirkan ayat dan hadits dengan akal semata, dan menentang dalil jika bertentangan dengan akal. Beliau berkata : إِيَّاكُمْ وَأَصْحَاب الرَّأْي فَإِنَّهُمْ أَعْدَاء السُّنَن ، أَعْيَتْهُمْ الْأَحَادِيث أَنْ يَحْفَظُوهَا ، فَقَالُوا بِالرَّأْيِ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا " Hati-hati kalian dari Ashaabur ra'yi, karena sesungguhnya mereka adalah musush- musuh Sunnah. Berat bagi mereka menghafal hadits-hadits sehingga mereka berkata berdasarkan ra'yu (akal pikiran), sehingga mereka sesat dan menyesatkan"(diriwayatkan al- Baihaqy, dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari) Berhati-hatilah wahai kaum muslimin, dari da'i-da'i yang menentang khabar-khabar shahih dari Nabi. Mereka menolaknya karena akal mereka tidak bisa menerima. Mereka adalah ashaabur-ra'yi yang diperingatkan Umar bin Khattab tersebut. Mereka menolak khabar-khabar tentang siksa kubur, adanya telaga Nabi Muhammad (al-Kautsar), adanya timbangan amal, mereka menolak turunnya Isa alaihissalaam nanti, mereka menolak segala khabar dari hadits shahih yang dianggap tidak sesuai dengan akal. Sungguh mereka adalah orang- orang yang sesat. Jauhilah pemikiran mereka, tulisan-tulisan mereka. Jauhilah mereka, sampai mereka bertaubat, dan menunjukkan sikap berubah dan kembali kepada pemahaman para Sahabat Nabi dan para Ulama' ahlul hadits yang mengikuti para Sahabat Nabi dengan baik.
Hendaknya kita mengimani seluruh khabar yang shahih dari Nabi shollallaahu 'alaihi wasallam, baik terjangkau oleh akal kita maupun tidak. Jadilah kita seperti Abu Bakr as-Siddhiq - orang yang dijamin masuk surga- yang beriman sepenuhnya dan menerima kabar yang luar biasa tentang Isra' Mi'raj yang perjalanan itu jauh di luar jangkauan nalar dan akal manusia.
Diriwayatkan oleh al-Baihaqy dari 'Aisyah radliyallaahu 'anha, beliau berkata : " Ketika Nabi shollallaahu 'alaihi wasallam mengalami Isra' ke Masjidil Aqsha, pada pagi harinya beliau menceritakannya kepada manusia, dan sebagian manusia ada yang murtad setelah sebelumnya beriman dan membenarkan beliau. Maka mereka bergegas menuju Abu Bakr dan berkata : Bagaimana pendapatmu tentang sahabatmu (Muhammad shollallaahu 'alaihi wasallam)? Dia mengaku bahwa dia diperjalankan selama satu malam menuju Baitul Maqdis. Abu Bakr menjawab : ' Apa benar dia mengucapkan demikian?' Mereka berkata : 'Ya'. Abu Bakr menyatakan : 'Kalau memang dia mengatakan demikian, sesungguhnya dia jujur'. Orang- orang itu berkata :' Apakah engkau mempercayai dia pergi ke Baitul Maqdis dalam satu malam dan kembali sebelum Subuh ?'. Abu Bakr menyatakan : ' Ya. Sungguh aku mempercayai dari dia kabar yang lebih dari itu . Aku mempercayai dia mendapatkan khabar dari langit pagi ataupun sore'. (Aisyah berkata): 'Sejak itu beliau diberi nama as-Shiddiq (yang membenarkan)(riwayat ini dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya dan disebutkan oleh Syaikh alAlbaany dalam Silsilah al- Ahaadits As-Shohiihah')
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa setelah mendengar khabar Isra' Mi'raj yang luar biasa tersebut ada orang-orang yang murtad keluar dari Islam setelah sebelumnya beriman, karena akal dan hati mereka tidak bisa menerima, sedangkan orang-orang yang beriman Allah kokohkan keimanannya.
Maka, pelajaran penting dari kisah Isra' Mi'raj itu : hendaknya kita menjadi seperti Abu Bakr as-Shiddiq dan orang-orang beriman yang mengimani khabar ghaib tentang aqidah tersebut, sekalipun di luar jangkauan nalar manusia, dan jangan seperti Abu Jahl dan orang-orang yang murtad setelah sebelumnya beriman, yang menolak kabar dari Nabi karena hati dan akal mereka tidak bisa menerimanya.
Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta'ala menjadikan kita sebagai kaum mu'minin yang mentauhidkan-Nya dan semoga Allah senantiasa mengokohkan kita di atas Islam berdasarkan petunjuk dari Rasulullah shollallaahu 'alaihi wasallam dengan pemahaman para Sahabatnya ridlawanullaah 'alaihim 'ajmain.