Teya Salat

Home||Back

Pembagian Jihad Melawan Kafir Secara Fisik (2)

Adapun syarat kedua, yaitu mempunyai kekuatan,
Hal tersebut merupakan perkara yang telah dimaklumi dalam nash-nash Al-Qur`ân dan As-Sunnah. Sebagaimana dalam firman-Nya,
"Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!" (QS. An-Nisâ` : 71)
Dan Allah Subhânahu wa Ta'âlâ menegaskan :
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan (yang juga) musuh kalian serta orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya." (QS. Al-Anfâl : 60)
Hadits 'Uqbah bin 'Âmir radhiyallâhu 'anhu, beliau berkata :
سَمِعْتُ رسولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُوْلُ : وَأَعِدُّوْا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ, أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ
"Saya mendengar Rasulullâh shollallâhu 'alaihi wa 'alâ âlihi wa sallam dan beliau berada di atas mimbar membaca (ayat) "Dan siapkanlah kekuatan yang kalian punyai untuk menghadapi mereka." (beliau berkata) : "Ingatlah kekuatan itu adalah membidik, kekuatan itu adalah membidik, kekuatan itu adalah membidik." [1]
Beberapa dalil di atas menunjukkan bahwa disyaratkan adanya kemampuan dan kekuatan dalam menegakkan jihad. Kapan syarat ini tidak terpenuhi, maka gugurlah kewajiban jihad tersebut terhadap kaum muslim hingga mereka mempunyai kekuatan.
Keharusan memiliki kemampuan dalam menjalankan suatu 'ibadah merupakan kaidah yang dimaklumi dalam syari'at dan telah menjadi dasar wajib untuk ditegakkannya suatu 'ibadah.
Allah Subhânahu wa Ta'âlâ berfirman :
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS. Al-Baqarah : 286)
"Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya." (QS. Ath-Tholâq : 7)
"Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian." (QS. At-Taghôbun : 16)
Dan Nabi shollallâhu 'alaihi wa 'alâ âlihi wa sallam bersabda :
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
"Apabila aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah (sesuatu tersebut), dan apabila aku memerintah kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah hal itu sesuai dengan kemampuan kalian." [2]
Berdasarkan nash-nash ini, telah digugurkan atas kaum muslimin kewajiban menghadapi musuh kalau jumlah mereka tiga kali lipat lebih banyak dari jumlah kaum muslimin, sebagaimana yang telah dijelaskan. Maka dalam keadaan tersebut tidak diwajibkan terhadap kaum muslimin untuk menghadapi musuh, karena sifat jihadnya adalah jihad hujûm.
Adapun kejadian pada perang Uhud dan perang Khandaq, dimana kaum muslimin menghadapi kaum kuffar dengan jumlah yang jauh lebih besar dan berlipat ganda, hal tersebut bukanlah jihad hujûm yang merupakan kehendak mereka, tapi jihad tersebut adalah jihad membela diri yang sifatnya darurat untuk menghadapi serangan musuh yang ingin menghancurkan kaum muslimin di negara mereka.[3]Dan jihad seperti ini adalah jihad mudâfa'ah yang akan datang uraian dan penjelasannya.
Kemudian diantara dalil akan gugurnya kewajiban jihad bila tidak ada kemampuan, adalah hadits An-Nawwâs bin Sam'ân radhiyallâhu 'anhu tentang kisah Nabi 'Isâ 'alaissalâm membunuh Dajjal..., kemudian disebutkan keluarnya Ya`jûj dan Ma`jûj,
...فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ، إِذْ أَوْحَى اللهُ إِلَى عِيْسَى: إِنِّيْ قَدْ أَخْرَجْتُ عِبَاداً لِيْ لَا يَدَانِ لِأَحَدٍ بِقِتَالِهِمْ، فَحَرِّزْ عِبَادِيْ إِلَى الطُّوْرِ وَيَبْعَثُ اللَّهُ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ ...
"...Dan tatkala (Nabi 'Isâ) dalam keadaan demikian, maka Allah mewahyukan kepada (Nabi) 'Isâ, "Sesungguhnya Aku akan mengeluarkan sekelompok hamba yang tiada tangan (baca: kekuatan) bagi seorangpun untuk memerangi mereka, maka bawalah hamba-hamba-Ku berlindung ke (bukit) Thûr." Kemudian Allah mengeluarkan Ya`jûj dan Ma`jûj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi...." [4]
Perhatikan hadits ini, tatkala kekuatan Nabi 'Isâ 'alaissalâm dan kaum muslimin yang bersama beliau waktu itu lemah untuk menghadapi Ya`jûj dan Ma`jûj, maka Allah tidak memerintah mereka untuk mengobarkan peperangan dan menegakkan jihad bahkan mereka diperintah untuk berlindung ke bukit Thûr.
Bertolak dari syarat harusnya ada kemampuan dan kekuatan dalam menegakkan jihad, para ulama dari masa ke masa memberi fatwa di atas hal tersebut.
Berkata Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâh, "Dan beliau (shollallâhu 'alaihi wa 'alâ âlihi wa sallam) diperintah untuk menahan (tangan) dari memerangi mereka karena ketidakmampuan beliau dan kaum muslimin untuk menegakkan hal tersebut. Tatkala beliau hijrah ke Madinah dan mempunyai orang-orang yang menguatkan beliau, maka beliaupun diizinkan untuk berjihad. Kemudian tatkala beliau lebih kuat maka diwajibkanlah perang terhadap mereka walaupun belum diwajibkan atas mereka memerangi orang-orang yang mereka (kaum muslimin) terkait perdamaian dengannya, karena mereka belum mampu untuk memerangi seluruh orang kafir. Kemudian tatkala Allah menjadikan Makkah takluk terhadap mereka dan telah terputus perlawanan orang-orang Quraisy, sementara itu raja-raja Arab serta berbagai utusan (kabilah-kabilah) Arab berdatangan untuk masuk Islam, maka beliau diperintah untuk memerangi seluruh orang kafir kecuali yang ada perjajian damai sementara, dan beliau diperintah untuk melepas seluruh perdamaian mutlak. Maka yang beliau angkat dan beliau hapuskan adalah meninggal perang." [5]
Dan beliau juga berkata, "Sesungguhnya perintah untuk memerangi kelompok bughôt disyaratkan dengan adanya kemampuan dan kemapanan. Memerangi mereka tidaklah lebih pantas dari memerangi kaum musyrikin dan kuffar. Dan sudah dimaklumi bahwa hal tersebut disyaratkan dengan adanya kemampuan dan kemungkinan. Dan kadang yang menjadi mashlahat syar'iy adalah melembutkan hati mereka dengan harta, perdamaian dan perjanjian tidak saling perang, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi (shollallâhu 'alaihi wa 'alâ âlihi wa sallam) berulang kali." [6]
Dan Syaikh 'Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa'dy rahimahullâh ketika menafsirkan ayat 190-193 dari surah Al-Baqarah, beliau berkata, "Ayat-ayat ini terkandung di dalamnya perintah untuk berperang di jalan Allah. Dan hal ini setelah hijrah ke Madinah, tatkala kaum muslimin telah memiliki kekuatan untuk berperang, maka Allah memerintah mereka dengannya, yang sebelumnya mereka diperintah untuk menahan tangan-tangan mereka."
Dan Al-Lajnah Ad-Dâ`imah mengeluarkan fatwa dengan nash, "Jihad adalah untuk meninggikan kalimat Allah dan penjagaan terhadap Islam, serta untuk memapankan penyampaian, penyebaran dan penjagaan terhadap kehormatan (Islam). (Ia) wajib bagi siapa yang mapan untuk hal tersebut dan kuat untuk (menegakkannya). Akan tetapi (jihad ini) butuh pengiriman pasukan dan pengaturan. Karena kekhawatiran munculnya kekacauan dan terjadinya hal-hal yang tidak terpuji akibatnya, maka permulaan (jihad itu) dan awal memasukinya adalah merupakan urusan penguasa kaum muslimin. Maka diwajibkan bagi ulama untuk membangkitkan semangat (penguasa) untuk (menegakkan) jihad tersebut. Apabila (penguasa) telah memulai dan menyeru kaum muslimin, maka wajib bagi siapa-siapa yang punya kemampuan untuk memenuhi seruan tersebut dengan mengikhlashkan wajahnya hanya untuk Allah, dengan harapan ia menolong kebenaran dan menjaga Islam. Siapa yang tidak hadir sedangkan telah ada seruan dan tidak memiliki udzur maka ia adalah seorang yang berdosa." [7]
Dan berkata Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullâh, "Dalam (jihad) harus ada suatu syarat, yaitu hendaknya kaum muslimin mempunyai kemampuan dan kekuatan yang dengannya mereka mampu menegakkan perang. Kalau mereka tidak mempunyai kemampuan maka menerjunkan diri mereka dalam peperangan adalah melemparkan diri kepada kebinasaan. Karena itu, Allah Subhânahu wa Ta'âlâ tidak mewajibkan terhadap kaum muslimin untuk berperang ketika mereka masih berada di Makkah, karena mereka tidak mampu lagi lemah. Tatkala mereka hijrah ke Madinah dan mereka menegakkan negara Islam dan mereka telah memiliki kekuatan, merekapun diperintah untuk berperang. Karena syarat merupakan sesuatu yang harus ada. (Kalau tidak terpenuhi) maka gugurlah kewajiban atas mereka sebagaimana halnya seluruh kewajiban (lain). Karena seluruh kewajiban disyaratkan padanya kemampuan berdasarkan firman-Nya Ta'âlâ,
"Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian." (QS. At-Taghôbun : 16)
Dan firman-Nya,
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS. Al-Baqarah : 286)." [8]
Dan diantara hal yang sangat penting yang harus kami ingatkan disini, bahwa selain dari menyiapkan kekuatan fisik, kaum muslimin juga harus menyiapkan kekuatan iman dalam menegakkan jihad tersebut.
Mempersiapkan kekuatan batin adalah dengan membersihkan diri dari segala noda kesyirikan dan menanamkan benih-benih tauhid serta mengikhlaskan segala jenis peribadatan hanya kepada Allah 'Azza wa Jalla.
Bagaimana mungkin kaum muslimin mengharapkan pertolongan dari Allah dalam jihad mereka, sedang mereka berlumpur dengan noda-noda kesyirikan?
Sedang Allah Subhânahu wa Ta'âlâ telah menyatakan kepada Nabi-Nya,
"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (QS. Az-Zumar : 65)
Bagaimana mungkin mengharapkan kemulian dan kejayaan sedang mereka bergelimang dengan dosa dan maksiat?
Cermatilah pelajaran yang diabadikan dalam Al-Qur`ân tentang sebab kekalahan kaum muslimin di perang Uhud,
"Dan mengapa ketika kalian ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kalian telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kalian berkata: "Dari mana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) diri kalian sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Âli 'Imrân : 165)
Berkata Ibnu Jarîr Ath-Thobary (w. 310 H) rahimahullâh, "(Firman-Nya) "kalian berkata: Dari mana datangnya (kekalahan) ini?" yaitu kalian berkata tatkala kalian tertimpa musibah di perang Uhud "Dari mana datangnya (kekalahan) ini?" (yaitu) dari sisi mana kekalahan ini, dan dari mana terjadinya apa yang menimpa kami, sedang kami adalah muslimun dan mereka itu orang-orang musyrikun, sedangkan pada kami ada Nabi Allah shollallâhu 'alaihi wa sallam yang mendapat wahyu dari langit dan musuh kami adalah pengikut kekufuran dan kesyirikan kepada Allah? Maka katakan wahai Muhammad kepada orang-orang yang beriman bersamamu dari kalangan shahabatmu "Itu dari (kesalahan) diri kalian sendiri", katakan kepada mereka, bahwa musibah yang menimpa kalian adalah dari kesalahan diri-diri kalian karena kalian menyelisihi perintahku dan kalian meninggalkan ketaatan kepadaku, (musibah tersebut) bukan dari selain kalian, dan bukan dari seorangpun selain kalian." [9]
Dan berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh, "Kapan orang-orang kafir memperoleh kemenangan, maka hal tersebut hanyalah karena dosa-dosa kaum muslimin yang berakibat kurangnya keimanan mereka. Kemudian kalau mereka bertaubat dengan menyempurnakan keimanan mereka, maka Allah akan menolong mereka, sebagaimana dalam firman-Nya Ta'âlâ,
"Janganlah kalian bersikap lemah, dan janganlah (pula) kalian bersedih hati, padahal kalianlah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kalian orang-orang yang beriman." (QS. Âli 'Imrân : 139)
Dan (Allah) berfirman,
"Dan mengapa ketika kalian ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kalian telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kalian berkata: "Dari mana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) diri kalian sendiri"." (QS. Âli 'Imrân : 165)." [10]
Dan berkata Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullâh, "Dan demikian pula pertolongan dan kekuatan yang sempurna, hal tersebut hanyalah untuk pemilik keimanan yang sempurna. (Allah) Ta'âlâ berfirman,
"Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat)." (QS. Ghôfir : 51)
Dan (Allah) berfirman,
"Maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang." (QS. Ash-Shoff : 14)
Maka siapa yang kurang keimanannya, akan kurang bagiannya dari pertolongan dan kekuatan (itu). Karena itu apabila seorang hamba mendapatkan musibah pada dirinya, keluarganya, atau musuhnya dimenangkan atasnya, maka hal tersebut semata karena dosanya, apakah karena meninggalkan kewajiban atau melakukan suatu hal yang diharamkan, dan itu termasuk kekurangan iman." [11]

[1] Hadits riwayat Muslim no. 1917, Abu Dâud no. 2514, At-Tirmidzy no. 3092 dan Ibnu Mâjah no. 2813 dari hadits 'Uqbah bin 'Âmir radhiyallâhu 'anhu.
[2] Hadits Abu Hurairah radhiyallâhu 'anhu riwayat Al-Bukhâry no. 7288, Muslim no. 1337, An-Nasâ`i 5/110 dan Ibnu Mâjah no. 1, 2.
[3] Baca keterangan Ibnul Qayyim rahimahullâh dalam Al-Furûsiyah hal. 97.
[4] Hadits riwayat Muslim no. 2937 dan Ibnu Majah no. 4075.
[5] Al-Jawâb Ash-Shohîh 1/237.
[6] Majmû' Al-Fatâwâ 4/442.
[7] Fatâwâ Lajnah 12/12 dengan ditanda tangani oleh Syaikh Ibnu Bâz sebagai ketua dan Syaikh 'Abdurrazzâq 'Afîfy sebagai wakil serta Syaikh 'Abdulllah bin Qu'ûd dan Syaikh Abdullah bin Ghodayyân sebagai anggota.
[8] Syarhul Mumti' 8/9-10.
[9] Jâmi'ul Bayân fii Tafsîrul Qur`ân 4/108.
[10] Al-Jawâb Ash-Shohîh 6/450.
[11] Ighôtstul Luhfân 2/182.
http://jihadbukankenistaan.com/menyelami-jihad/pembagian-jihad-melawan-kafir-secara-fisik-2.html
Diposkan pada 13 Juli 2009

Iklan dari Host :