Polly po-cket

Home || Back
Ziyadah Ats-Tsiqah

Yang dimaksud dengan ziyadah ats-tsiqah adalah hadits yang terdapat padanya tambahan perkataan dari sebagian perawi yang tsiqah, sedang hadits itu diriwayatkan juga oleh perawi lain (tetapi tidak memakai tambahan itu).
Para ulama hadits telah memeprhatikan hal ini, di antara mereka yang terkenal :
a. Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ziyad An- Naisabury.
b. Abu Nu'aim Al-Jurjani.
c. Abu Al-Walid Hasan bin Muhammad Al-Quraisyi.
Tempat Terdapatnya Ziyadah Ats-Tsiqah dan Kondisi-Kondisinya
Ziyadah Ats-Tsiqah terdapat pada matan dengan tambahan satu kata atau kalimat, atau terdapat pada sanad, dengan mengangkat hadits mauquf atau menyambung hadits mursal.
Dan tambahan itu :
a. Kadang terjadi dari satu orang, yang meriwayatkan hadits dalam keadaan kurang dalam satu riwayat, sedangkan dalam riwayat lainb terdapat penambahan.
b. Dan kadang terjadi tambahan dari orang selain yang meriwayatkannya dalam keadaan kurang.
Hukumnya
Ibnu Shalah telah membagi - dan diikuti oleh Imam An-Nawawi - Ziyadah Ats-Tsiqah bila ditinjau dari sudut sah dan tidaknya, dibagi menjadi tiga bagian :
1. Tambahan yang tidak bertentangan dengan riwayat para perawi yang tsiqah. Bagian ini hukumnya sah atau maqbul (diterima).
2. Tambahan yang bertentangan dengan riwayat para perawi yang tsiqah dan tidak mungkin untuk dikumpulkan antara keduanya, dimana jika diterima salah satunya maka ada yang tertolak di riwayat lain, maka bagian ini di-tarjih antara riwayat tambahan dan riwayat yang menentangnya. Yang kuat atau rajih diterima, sedangkan yang marjuh atau lemah ditolak.
3. Tambahan yang di dalamnya terdapat semacam pertentangan dari riwayat para perawi yang tsiqah, seperti mengikat (taqyid) yang muthlaq, atau mengkhususkan (takhshish) yang umum, maka pada bagian ini hukumnya sah dan diterima.
Contoh Tambahan Lafadh pada Matan
1. Contoh tambahan yang tidak terdapat peretntangan : Diriwayatkan Muslim dari jalan Ali bin Mushar, dari Al-A'masy, dari Abi Razin dan Abi Shalih, dari Abi Hurairah radliyallaahu 'anhu, dari tambahan lafadh : "falyuriqhu" artinya : "maka hendaklah ia buang isinya"; dalam hadits tentang jilatan anjing. Semua ahli hadits dari para murid Al-A'masy tidak ada yang menyebut lafadh tersebut. Yang mereka riwayatkan adalah begini : "Apabila anjing menjilat di bejana salah seorang dari kamu, maka hendaklah ia cuci bejana itu tujuh kali". Maka tambahan kalimat : "hendaklah ia buang isinya" adalah riwayat dari Ali bin Mushar sendirian, sedangkan dia adalah seorang yang tsiqah; maka diterima haditsnya (karena tidak ada pertentangan antara riwayat dengan tambahan dengan riwayat tanpa tambahan).
2. Contoh tambahan yang terdapat perselisihan, seperti tambahan "Hari Arafah" yang terdapat pada hadits yang berbunyi : "Hari Arafah, hari berkorban dan hari tasyriq, hari raya kita orang Islam, hari raya kita umat Islam, adalah hari raya makan dan minum".
Hadits ini dilihat dari semua jalannya adalah tanpa kalimat "Hari Arafah". Dan tambahan ini hanya terdapat pada riwayat Musa bin Ali bin Rabbah, dari bapaknya, dari 'Uqbah bin 'Amir,; dan tambahan ini telah di-tarjih.
Contoh tambahan lafadh yang terjadi semacam pertentangan. Diriwayatkan oleh Muslim, dari jalan Abu Malik Al-Asyja'i, dari Rib'i, dari Hudzaifah, berkata : Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda : "Telah dijadikan semua bumi untuk kami sebagai masjid dan dijadikan debunya untuk kami sebagai alat bersuci".
Di sini terdapat Abu Malik Sa'ad bin Thariq Al-Asja'i dengan tambahan lafadh : "debunya", sedangkam perawi yang lain tidak menyebutkannya. Hadits yang mereka riwayatkan adalah : "Telah dijadikan untuk kami bumi sebagai masjid dan tempat bersuci".
Madzhab Asy-Syafi'i dan Malik menerima tambahan lafadh seperti ini, dan ini pendapat yang benar. Sedangkan pengikut madzhab Hanafi, mereka menjadikan tambahan ini sebagai tambahan
yang bertentangan dan menerapkan aturan tarjih antara lafadh tambahan dan hadits asli (tanpa tambahan). Oleh karena itu, mereka tidak mengamalkan tambahan seperti ini.
Hukum Tambahan dalam Sanad
Yang dimaksud tambahan dalam sanad di sini adalah menjadikan hadits mauquf menjadi marfu', atau menyambung sanad yang mursal menjadi maushul. Atau dengan kata lain, terjadinya pertentangan antara me-marfu'- kan dengan me-mauquf-kan, dan me-maushul-kan dengan me- mursal-kan.
Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi tambahan seperti ini :
a. Jumhur fuqahaa dan ahli ushul fiqh menerima tambahan ini.
Jumhur ahlihadits menolak adanya tambahan ini.
Sebagian ahli hadits berpendapat agar dilakukan tarjih, yang terbanyak itulah yang diterima.
Contohnya
Hadits : "Tidak sah pernikahan seseorang kecuali dengan adanya wali". Hadits ini diriwayatkan oleh Yunus bin Abi Ishaq As-Sab'i dan anaknya Isra'il, dan Qais bin Ar-Rabi', dari Abi Ishaq dengan sanad bersambung. Dan diriwayatkan pula oleh Sufyan Ats-Tsauri dan Syu'bah bin Al-Hajjaj, dari Abi Ishaq dengan sanad mursal.
AL-MUTTABI' DAN ASY- SYAHID, SERTA JALAN MENCAPAI KEDUANYA (AL- I'TIBAR)
Contoh
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasalam bersabda :
"Bulan itu bilangannya 29 hari, jangan berpuasa sebelum kamu melihat hilal, danjangan kamu berbuka sebelum kamu melihatnya. Maka jika tertutup awan atas kamu, perkirakanlah baginya".
Hadits ini diriwayatkan oleh Malik, Bukhari, Muslim, An-Nasa'I, dan Ibnu Khuzaimah.
Diriwayatkan oleh shahabat Malik dari Malik, dari Abdullahbin Dinar, dari Abdullah bin 'Umar bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda : "......maka jika tertutup awan atas kamu, maka perkirakanlah baginya".
Diriwayatkan oleh Asy-Syafi'I, dari Malik, dari Abdullah bin Dinar, dari Abdullah bin 'Umar dengan lafadh yang sama bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda : ".......maka jika tertutup awan atas kamu, sempurnakanlah bilangannya 30 hari".
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Salamah Al-Qa'nabi, dari Malik, dari Abdullah bin Dinar, dari Abdullah bin Umar dengan lafadh yang sama bahwasannya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda : "........maka jika tertutup awan atas kamu, sempurnakanlah bilangannya 30 hari".
Dan diriwayatkan oleh 'Ashim bin Muhammad, dari bapaknya Muhammad bin Zaid, dari kakeknya Abdullah bin 'Umar dengan lafadh yang sama bahwasannya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda : ".........maka jika tertutup awan atas kamu, maka sempurnakanlah bilangannya 30 hari".
Dan diriwayatkan oleh Muhammad bin Hunain, dari Ibnu 'Abbas dengan lafadh : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda : ".......maka jika tertutup awan atasmu, maka sempurnakanlah bilangannya 30 hari".
Dan diriwayatkan Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah dengan lafadh yang sama bahwasannya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasalllam bersabda : "......maka jika terhalang awan atas kamu, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya'ban 30 hari".
Di sini ada beberapa permasalahan :
1 . Sebagian kaum mengira bahwa Imam Syafi'I hanya sendiri dalam meriwayatkan hadits Ibnu 'Umar dengan lafadh : "maka sempurnakanlah bilangan 30 hari".
2. Para ulama telah membahas dan meneliti matan dan sanad- sanad, dan mereka mendapatkan :
a. Bahwasannya Al-Qa'nabi telah menyertai Imam Asy-Syafi'I mulai dari awal sanad sampai ke Ibnu 'Umar dengan lafadh : "....maka sempurnakanlah bilangan 30 hari".
b. Bahwasannya Muhammad bin Zaid telah menyertai Asy-Imam Syafi'I dalam meriwayatkan hadits Ibnu 'Umar dengan lafadh : ".......maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh".
3. Dan para ulama telah membahas dan menguji matan dan sanad-sanad, dan mereka mendapatkan:
a. Bahwasanya Muhammad bin Hunain telah menyertai guru dari guru Imam Asy-Syafi'I, akan tetapi hanya sampai pada Ibnu 'Abbas dengan lafadh : ".........maka sempurnakanlah bilangan 30 hari".
b. Bahwasannya Muhammad bin Ziyad telah menyertai guru dari guru Imam Asy-Syafi'I, namun hanya sampai kepada Abu Hurairah dengan lafadh : "....maka jika tertutup awan atasmu, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sy'ban 30 hari".
Dengan demikian menjadi jelas bahwa apa yang diriwayatkan Imam Asy-Syafi'I bukanlah gharib karena terdapat persamaan dan penyertaan dalam lafadh atau makna dari riwayat Ibnu 'Umar itu sendiri atau dari shahabat yang lain.
Maka riwayat yang menyertai hadits, baik dalam hal lafadh ataupun makna, dan shahabat yang meriwayatkannya adalah satu , maka riwayat itu dinamakan muttabi'.
Sedangkan hadits yang menyertai hadits, baik lafadh maupun maknanya, dan shahabat yang meriwayatkannya adalah berbeda , maka dinamakan syahid.
Dan kesamaan shahabat dalam periwayatan hadits, menurut Imam Asy-Syafi'I :
a. Jika terjadi pada awal sanad, maka dinamakan mutaba'ah yang sempurna.
b. Jika tidak dimulai pada awal sanad, maka dinamakan mutaba'ah yang kurang sempurna.
Atas dasar ini, maka :
Al-Muttabi' , disebut juga At- Taabi' menurut bahasa adalah isim fa'il dari taba'a yang artinya yang mengiringi atau yang mencocoki. Sedangkan menurut istilah adalah satu hadits yang sanadnya menguatkan sanad lain dari hadits itu juga, dan shahabat yang meriwayatkannya adalah satu.
Asy-Syahid , menurut bahasa adalah isim fa'il yang artinya adalah yang menyaksikan. Sedangkan menurut istilah adalah satu hadits yang matannya sama dengan hadits lain dan biasanya shahabat yang meriwayatkan hadits tersebut berlainan.
Al-Mutaba'ah , menurut bahasa adalah pengiringan. Sedangkan menurut istilah adalah penyertaan seorang perawi kepada perawi yang lain dalam periwayatan hadits. Dan Al- Mutaba'ah ada dua macam :
1. Al-Mutaba'ahTaammah (yang sempurna) : apabila seorang perawi menyertai mulai dari awal sanad.
2. Mutaba'ah qashirah (yang kurang sempurna) : apabila seorang perawi menyertai di tengah sanad.
Al-I'tibar , menurut bahasa yaitu memperhatikan perkara- perkara tertentu untuk mengetahui jenis lain yang ada di dalamnya. Sedangkan menurut istilah adalah penelitian jalan- jalan hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perawi untuk mengetahui apakah ada orang lain dalam meriwayatkan hadits itu atau tidak, yaitu kondisi menuju kepada muttabi' dan syahid.


http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/16/ziyadah-ats-tsiqah/
Diposkan pada 4 Juni 2009

Iklan Dari Host: