Old school Swatch Watches

Home||Back

Tidak Ada Qiyas Dalam As Sunnah. Ilmu Kalam, Bertikai, Berdebat, dan Berbantah-Bantahan Adalah Perkara Bid'ah Yang Menggoreskan Keraguan Dalam Hati
Berkata Al Imam Al Barbahari Rahimahullahu Ta'ala:
واعلم رحمك الله أنه ليس في السنة قياس ولا تضرب لها الأمثال ولا تتبع فيها الأهواء بل هو التصديق بآثار رسول الله صلى الله عليه وسلم بلا كيف ولا شرح ولا يقال لم ولا كيف فالكلام والخصومة والجدال والمراء محدث يقدح الشك في القلب وإن أصاب صاحبه الحق والسنة
Dan ketahuilah, semoga Allah Azza wajalla merahmatimu, bahwasanya tidak ada qiyas dalam As Sunnah, maka janganlah kamu membuat permisalan untuknya dan jangan kamu ikuti hawa nafsu di dalamnya. Bahkan yang ada adalah membenarkan atsar- atsar Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam tanpa menanyakan bagaimana (kaifiyahnya) dan tidak pula syarah (penjelasannya). Sehingga tidak boleh mengatakan, "kenapa?" dan tidak pula, "bagaimana?"
Ilmu kalam, bertikai, berdebat, dan berbantah-bantahan adalah perkara bid'ah yang menggoreskan keraguan dalam hati meskipun pelakunya mencocoki al haq (kebenaran) dan As Sunnah.
Syaikh Allamah Ahmad bin Yahya An Najmi
Perkataan ini sesuai diterapkan pada sunnah-sunnah yang berkenaan dengan aqidah. Adapun selain aqidah yang berupa hukum-hukum far'iyyah (cabang) maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama dan dibangun di atasnya qiyas-qiyas.
Yang seperti ini tersebar di kitab- kitab fiqih dan ushul fiqih.
Akan tetapi yang dimaksud dengan perkataan ini adalah perkara-perkara yang berkaitan dengan aqidah, berupa ayat- ayat shifat dan hadits-hadits shahih yang berkaitan dengannya. Yang seperti ini wajib untuk berpegang dengannya serta melewati apa adanya disertai keyakinan bahwa maknanya adalah sebagaimana yang ditunjukkan oleh bahasa Arab serta tidak menanyakan kenapa seperti ini dan itu? Bagaimana bisa seperti ini dan seperti itu?
Imam Malik Rahimahullahu Ta'ala telah mengingkari orang yang berkata, "Bagaimana pendapatmu tentang firman Allah Ta'ala,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى. ]طه: 5[
(Yaitu) Ar-Rahman yang beristiwa' di atas 'Arsy. (Thaha: 5)
Bagaimana Dia beristiwa'? Maka terdiamlah Imam Malik Rahimahullah, keringat beliau Rahimahullah bercucuran kemudian beliau Rahimahullah mengangkat kepalanya seraya mengatakan,
الْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ، وَاْلأِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُولٍ، وَاْلإِيْمَانُ بِِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ، وَإنِّي َلأَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ.
"Tentang bagaimananya tidak bisa diketahui dengan akal, tentang makna istiwa' sudah diketahui; beriman dengannya adalah wajib, dan bertanya tentangnya (tentang kaifiyah) adalah bid'ah. Dan sungguh aku khawatir bahwa engkau adalah orang yang sesat." Maka orang itupun diperintahkan untuk diusir dari majlisnya. (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 45)
Sesungguhnya berbicara dan berdebat tentang masalah ushul dan aqidah adalah perkara bid'ah tidak dilakukan kecuali oleh ahll bid'ah. Adapun para shahabat, para tabi'in, dan pengikut mereka Radhiallahu'anhuma, bahkan Ahlus Sunnah wal Jamaah seluruhnya, mereka tidak mau mendatangi (melakukan) perdebatan dalam masalah aqidah. Hanya saja perdebatan dalam masalah aqidah itu muncul tatkala mulai tumbuh firqah- firqah sesat seperti Jahmiyah, Mu'tazilah, dan lainnya yang menggunakan ilmu kalam, mengambil muqaddimah ilmu manthiq serta meninggalkan atsar, ahirnya sebagian mereka menyesal ketika menjelang ajalnya. Bahkan sebagian dari mereka meninggal dan di atas dadanya terdapat kitab Shahih Bukhari. Yang demikian itu dikarenakan muqaddimah ilmu manthiq dan izamat ilmu kalam tidak menimbulkan kecuali keraguan. Wal 'iyadzubillah.
Kalau seandainya disebutkan nama Al Ghazali niscaya lebih tepat. Demikian pula Al Imam Abu Abdillah Muhammad bin Umar Ar Razi, menyesal mempelajari ilmu kalam dan berdalam-dalam membahasnaya serta meninggalkan mentadabburi kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam dan beramal dengannya dari ayat- ayat dan hikmah. Dia berkata dalam kitab yang ditulisnya berkenaan dengan jenis-jenis kelezatan:
Ahir dari mengedepankan akal adalah ikat kepala
Dan ujung usaha manusia di dunia ini adalah kesesatan
Arwah kami dalam kesusahan dalam jasad-jasad kami
Ahir dari dunia kami adalah petaka dan bencana
Kami tidak mampu mengambil faidah dari pemahasan seumur hidup
Melainkan hanya mengumpulkan di dalamnya qila wa qala (oong kosong)
Betapa banyak guung tinggi menjulang
Para tokoh punah, sedang gunung tetaplah gunung.
Kemudian dia berkata, "sungguh aku telah memperhatikan dengan seksama jalan-jalan kalamiyyah dan manhaj falasifah (ahli kalam dan filsafat), sama sekali aku tidak melihatnya bisa menyembuhkan orang yang sakit dan tidak pula melegakan orang yang dahaga, Aku melihat jalan yang paling dekat adalah jalan Al Quran dan aku membaca tentang isbat (penetapan):
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
" (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy." (Thaha: 5)
يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ
" Kepada-Nya lah naik perkataan- perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya." (Fathir: 10)
Dan aku membaca nafi (peniadaan):
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
" Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy Syura: 11)
يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا
" Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya." (Thaha: 110)
Kemudian dia berkata, "Barangsiapa yang mengalamai apa yang aku alami niscaya ia akan tahu seperti apa yang aku ketahui."
Demikian juga dikatakan oleh Abul Ma'ali Al Juwaini, "Wahai shahabatku seklian, janganlah kalian menyibukkan diri mempelajari ilmu kalam, kalau seandainya aku tahu bahwa ilmu kalam menjadikan aku seperti ini niscaya aku tidak akan menyibukkan diri untuk mempelajarinya." Dan dia berkata ketika menjelang ajalnya, "Aku telah menyelami samudera ilmu kalam, aku tinggalkan ahlul Islam dan ilmu-ilmu mereka, dan aku masuk ke dalam larangan yang aku dilarang darinya. Sekarang apabila Rabb-ku tidak memberikan rahmat kepadaku maka kecelakaanlah bagi Ibnul Jawaini. Dan inilah aku mati dalam aqidah ummi (ibuku)," atau dia mengatakan, "di atas aqidah 'ajaiz Naisabur." (Dinukil dari Syarh Aqidah Ath Thahawiyah oleh Imam Al Qadhi Ali bin Ali bin Muhammad bin Abil Izz Ad Dimasyqi hal. 243 dan berikutnya yang ditahqiq oleh Abdullah bin Muhsin At Turki dan Syu'aib Al Arnauth)
Mohonlah kepada Allah Azza wajalla, Rabb-mu agar menjauhkanmu dari jalannnya mereka itu dan menjadikanmu ahlul atsar, senantiasa mengikuti apa yang datang dari Allah Tabaroka wata'ala dan Rasul-Nya Shallallahu'alaihi wasallam tanpa mengurangi atau menambahinya (memunculkan perkara yang baru di dalamnya). Wabillahit taufiq.
[Dari Kitab Irsyaadus Saari ila Taudhihi Syarhis Sunnah lil Imam Al Barbahari, Edisi Indonesia Penjelasan Syarhus Sunnah Imam Al Barbahari Meniti Sunnah di Tengah Badai Fitnah oleh Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi, Penerbit Maktabah Al Ghuroba, hal 111-114 ]
http://sunniy.wordpress.com/2008/08/20/tidak-ada-qiyas-dalam-as-sunnah-ilmu-kalam-bertikai-berdebat-dan-berbantah-bantahan-adalah-perkara-bidah-yang-menggoreskan-keraguan-dalam-hati/
Diposkan pada 10 Juni 2009
Iklan dari Host: