Hakikat Kefakiran
Oleh Ibnul Qayyim Al Jauziyah
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman, "Wahai sekalian manusia, kalian adalah fakir (butuh) kepada Allah dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. Fathir: 15)
Pada ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta'ala menerangkan bahwa fakirnya hamba kepada-Nya adalah sifat dzat hamba yang tidak dapat lepas dari mereka, sebagaimana halnya Maha Kaya dan Maha Terpujinya Allah merupakan sifat yang ada pada dzat-Nya. Sehingga mustahil halnya seorang hamba kecuali fakir dan mustahil halnya Rabb kecuali Maha Kaya.
Apabila hal ini telah diketahui, maka kefakiran ada dua: kefakiran idhthirari, yaitu kefakiran yang umum, tidak seorang pun bisa keluar darinya, apakah dia orang baik atau orang jahat. Adapun kefakiran yang kedua adalah kefakiran ikhtiyari, yaitu buah dari dua macam ilmu yang tinggi. Yang pertama, ilmu sang hamba akan Rabbnya dan yang kedua ilmu sang hamba akan dirinya sendiri. Maka kapan seseorang mencapai dua ilmu ini, akan lahirlah kefakiran yang sekaligus merupakan kekayaan dan tanda kemenangan dan kebahagiaannya. Dan derajat manusia dalam kefakiran macam ini berbeda-beda sesuai perbedaan tingkatan mereka dalam dua ilmu tadi. Maka barangsiapa mengenal Rabbnya dengan Kekayaan yang mutlak dia kenal dirinya dengan kefakiran yang mutlak. Dan barangsiapa mengenal Rabbnya dengan Kekuasaan yang sempurna dia kenal dirinya dengan ketidakberdayaan yang sempurna. Dan barangsiapa mengenal Rabbnya dengan Kemuliaan yang sempurna dia kenal dirinya dengan kehinaan yang sempurna. Dan barangsiapa mengenal Rabbnya dengan Keilmuan yang sempurna dan Kebijaksanaan dia kenal dirinya dengan kejahilan.
Allah telah mengeluarkan hamba-Nya dari perut ibunya dalam kondisi tidak tahu apa-apa, tidak mampu berbuat apa-apa, tidak memiliki apa-apa, tidak mampu memberi, menolak, mencelakakan atau memberi kemanfaatan, tidak mampu apa-apa sama sekali. Sehingga kefakiran sang hamba pada kondisi seperti itu sampai kepada penyempurnaannya merupakan perkara yang nyata tampak bagi siapa pun. Hal ini bukan berarti dia berpindah dari tingkatan ini kepada tingkat rububiyah dan kaya, melainkan dia senantiasa sebagai hamba yang fakir (butuh) kepada Pencipta dan Pengaturnya.
Maka tatkala Allah mencurahkan kepada hamba-Nya segenap nikmat dan rahmat-Nya, Allah giring kepadanya sebab-sebab penyempurnaan eksistensinya lahir dan batin, diberikan kepadanya pendengaran, pengelihatan dan hati, diajari dan dijadikan dia memiliki kemampuan, Allah jadikan dia bisa mengambil manfaat dari sesamanya, ditundukkan padanya kuda, unta, binatang-binatang air dan udara serta binatang-binatang liar, dia bisa menggali sungai, menanam tanaman, membelah bumi, meninggikan bangunan dan berbuat apa saja untuk kemaslahatannya serta melindungi dirinya dari segala yang mencelakakannya, disinilah si miskin menyangka bahwa ia memiliki bagian dari kekuasaan dan menganggap dirinya raja lain di sisi Allah. Dia memandang dirinya dengan selain pandangan yang pertama. Dia lupa asal-usulnya dahulu dia tidak ada, fakir, butuh. Sehingga jadilah dia seolah-olah sosok lain bukan si fakir yang butuh dahulu. Bahkan seolah-olah dia orang lain bukan dia.
Dari sinilah banyak orang yang tertipu dan mendapat petunjuk. Yang tertipu tertutupi dari hakikat dirinya sendiri dan lupa asal-usulnya, lupa kefakirannya dan kebutuhannya serta ketergantungannya kepada Rabbnya. Dia pun berbuat sewenang-wenang, lalim, melampaui batas sehingga ditetapkanlah atasnya kecelakaan, "Ketahuilah sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup". (QS. Al Alaq: 7) dan Allah juga berfirman, "Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan apa yang Allah wajibkan, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. (QS. Al Lail: 10)
Maka makhluk yang paling sempurna adalah yang paling sempurna penghambaannya dan yang paling besar pengakuan akan kefakiran dan ketergantungannya kepada Rabbnya dan tidak merasa cukup dari-Nya meski sekejap mata. Oleh karena itu dahulu doa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, "Ya Allah, perbaikilah urusanku seluruhnya, dan jangan Engkau jadikan aku bersandar pada diri sendiri meski sekejap mata dan jangan pula kepada siapa pun dari ciptaanmu." Hasan, diriwayatkan oleh Al Bukhari di dalam Adabul Mufrad (no. 701).
Diringkas dan diterjemahkan oleh Abulmundzir dari kitab Thariq Al Hijratain hal 7-9, cet. Darul Bayan.
Sumber :
Thariq Al Hijratain hal 7-9, cet. Darul Bayan.
http://www.ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=412