Polaroid


Asuransi

Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin

Dalam praktik bisnis pada
umumnya, pembeli sering berada dalam posisi dirugikan. “Kaidah”
ini tak terkecuali juga berlaku
pada sistem asuransi. Pencairan
klaim yang dipersulit adalah
contoh persoalan paling klise
yang banyak dialami
tertanggung atau pemegang
polis. Namun yang namanya
pertaruhan, tak ada yang mau
dirugikan begitu saja. Banyak
juga kasus di mana tertanggung
dengan sengaja membakar atau
menghilangkan asset miliknya
menjelang habis masa
pertanggungan demi memperoleh
klaim. Bagaimana Islam menyoroti
“perjudian” bernama asuransi
ini? Simak kupasannya!
Asuransi yang jenisnya kian
beragam pada masa sekarang,
sebenarnya dapat
diklasifikasikan menjadi tiga:
asuransi sosial, asuransi ta’awun
(gotong-royong), dan asuransi
tijarah (bisnis).
Asuransi Sosial
Biasanya, asuransi jenis ini
diperuntukkan bagi pegawai
pemerintah, sipil maupun militer.
Sering juga didapati pada
karyawan perusahaan swasta.
Gambarannya, pihak perusahaan
memotong gaji karyawan setiap
bulan dengan persentase
tertentu dengan tujuan:
1. Sebagai tunjangan hari tua
(THT), yang biasanya uang
tersebut diserahkan seluruhnya
pada masa purna tugas seorang
karyawan. Terkadang ditambah
subsidi khusus dari perusahaan.
2. Sebagai bantuan atau
santunan bagi mereka yang
wafat sebelum purna bakti,
diserahkan kepada ahli waris
atau yang mewakili.
3. Sebagai pesangon bagi
karyawan yang pensiun dini.
Pemotongan gaji dengan tujuan
di atas yang dilakukan oleh
pemerintah atau sebuah
perusahaan swasta murni untuk
santunan bagi karyawan, bukan
dalam rangka dikembangkan
untuk mendapatkan laba
(investasi), maka hukum
asuransi jenis ini dengan sistem
seperti yang tersebut di atas
adalah boleh, karena termasuk
dalam bab ta’awun (tolong-
menolong) dalam kebaikan. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى
اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kalian
dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa
dan pelanggaran.” (Al-Ma`idah:
2)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا
كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ
“Dan Allah selalu menolong
seorang hamba selama dia selalu
menolong saudaranya.” (HR.
Muslim no. 3391 dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Upaya di atas termasuk pula
dalam bab ihsan (berbuat baik)
kepada sesama. (Fatawa Al-
Lajnah Ad-Da`imah, 15/284, dan
Syarhul Buyu’ hal. 38)
Bila potongan gaji tersebut
dimanfaatkan untuk investasi
dalam rangka menghasilkan
penambahan nominal dari total
nilai gaji yang ada, maka tidak
boleh (haram), karena termasuk
memakan harta orang lain
dengan cara kebatilan. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ
“Dan janganlah sebagian kalian
memakan harta sebagian yang
lain dengan jalan yang
batil.” (Al-Baqarah: 188)
Maka tidak ada hak bagi
karyawan tadi kecuali nominal
gajinya yang dipotong selama
kerja. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ
أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ
تُظْلَمُوْنَ
“Dan jika kalian bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu
pokok hartamu; kalian tidak
menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.” (Al-Baqarah: 279)
Namun bila nominal tambahan
tersebut telah diterima oleh
sang karyawan dalam keadaan
tidak mengetahui hokum
sebelumnya, maka boleh
dimanfaatkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ
فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ
وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ
فِيْهَا خَالِدُوْنَ
“Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari
Rabbnya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka
baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada
Allah. Orang yang mengulangi
(mengambil riba), maka orang
itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di
dalamnya.” (Al-Baqarah: 275)
Bila dia mengambilnya atas
dasar ilmu (yakni mengetahui)
tentang keharamannya, dia
wajib bertaubat dan
mensedekahkan ‘tambahan’ tadi.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah,
15/261)
Asuransi Ta’awun (Gotong
Royong)
Asuransi ini dibangun dengan
tujuan membantu dan
meringankan pihak-pihak yang
membutuhkan atau yang
terkena musibah. Gambarannya,
sejumlah anggota menyerahkan
saham dalam bentuk uang yang
disetorkan setiap pekan atau
bulan dengan nominal yang tidak
ditentukan nilainya, kepada
yayasan/lembaga yang
menangani musibah, bencana
dan orang yang membutuhkan.
Biasanya, saham akan dihentikan
untuk sementara bila jumlah
uang dirasa sudah cukup dan
tidak terjadi bencana atau
musibah yang menyebabkan kas
menipis atau membutuhkan
suntikan dana. Sahamsaham
dalam bentuk uang itu sendiri
tidak dikembangkan dalam
bentuk investasi. Dan asuransi
ini murni dibangun di atas dasar
kesadaran dan saling membantu,
bukan paksaan.
Contoh di lapangan yang
disebutkan oleh Syaikhuna
Abdurrahman Al-‘Adni
hafizhahullah adalah asuransi
gotong royong pada
perkumpulan angkutan kota
atau bis (di mana kendaraan-
kendaraan itu milik pribadi,
bukan milik sebuah perusahaan).
Caranya, masing-masing anggota
menyetorkan sejumlah nominal
tak tertentu, setiap pekan/
bulan, kepada salah seorang
yang mereka tunjuk untuk
membantu anggota mereka
yang mengalami kecelakaan atau
terkena musibah. Setoran
tersebut bersifat sukarela dan
tidak mengikat, dengan nominal
beragam dan dihentikan bila
dirasa sudah cukup dan tidak
ada musibah.
Mengenai asuransi jenis ini, para
ulama anggota Al-Lajnah Ad-
Da`imah dan anggota Kibarul
Ulama Kerajaan Saudi Arabia
telah melakukan pertemuan
ke-10 di kota Riyadh pada
bulan Rabi’ul Awwal 1397 H.
Hasilnya , mereka sepakat
bahwa ta’awun ini diperbolehkan
dan bisa menjadi ganti dari
asuransi tijarah (bisnis) yang
diharamkan, dengan beberapa
alasan berikut:
1. Asuransi ta’awun termasuk
akad tolong-menolong untuk
membantu pihak yang terkena
musibah, tidak bertujuan bisnis
atau mengeruk keuntungan dari
harta orang lain. Tujuannya
hanyalah membagi beban
musibah tersebut di antara
mereka dan bergotong royong
meringankannya.
2. Asuransi ta’awun ini terlepas
dari dua jenis riba: fadhl dan
nasi`ah. Akad para pemberi
saham tidak termasuk akad riba
serta tidak memanfaatkan kas
yang ada untuk muamalah-
muamalah riba.
3. Tidak mengapa bila pihak
yang memberi saham tidak
mengetahui secara pasti jumlah
nominal yang akan diberikan
kepadanya bila dia terkena
musibah. Sebab, mereka semua
adalah donatur (anggota), tidak
ada pertaruhan, penipuan, atau
perjudian.
Kemudian mereka memberikan
usulan-usulan kepada
pemerintah Kerajaan Saudi
Arabia seputar masalah
sosialisasi asuransi ta’awun ini.
Lihat uraian panjang tentang
masalah ini dalam Fatawa Al-
Lajnah Ad-Da`imah (15/287-292).
Sementara Syaikhuna
Abdurrahman Al-‘Adni
menyayangkan dua hal yang
ada pada yayasan atau lembaga
yang menangani asuransi ini,
yaitu:
1. Menaruh uang-uang tersebut
di bank-bank riba tanpa ada
keadaan yang darurat.
2. Memaksa para anggota untuk
menyetorkan saham mereka
dengan nominal tetap/
ditentukan.
Wallahu a’lam. (Syarhul Buyu’,
hal. 39)
Asuransi Tijarah (Bisnis)
Lembaga asuransi seperti ini
biasanya lekat dengan para
pelaku usaha dan orang yang
memiliki harta berlebih, namun
bisa juga bermuamalah dengan
pihak manapun.
Gambaran sistem asuransi ini
adalah pihak nasabah membayar
nominal (premi) tertentu kepada
perusahaan/lembaga asuransi
setiap bulan atau tahun, atau
setiap order, atau sesuai
kesepakatan bersama, dengan
ketentuan bila terjadi
kerusakan atau musibah maka
pihak lembaga asuransi
menanggung seluruh biaya ganti
rugi. Bila tidak terjadi sesuatu,
maka setoran terus berjalan
dan menjadi milik lembaga
asuransi.
Asuransi jenis ini adalah bisnis
murni karena memang didirikan
dalam rangka mengeruk
keuntungan. Terbukti, mereka
biasanya akan lepas tangan dari
para nasabahnya ketika terjadi
peperangan besar atau tragedi
–misalnya– yang mengakibatkan
kerugian sangat banyak.
Ringkasnya, orang yang terbelit
asuransi ini akan menghadapi
pertaruhan dengan dua
kemungkinan: untung atau rugi.
Untuk asuransi jenis ini, para
ulama masa kini berikut
lembaga-lembaga pengkajian
fikih internasional semacam
Rabithah ‘Alam Islami, Hai`ah
Kibarul Ulama, dan Al-Lajnah Ad-
Da`imah Kerajaan Saudi Arabia,
serta lembagalembaga keislaman
yang lainnya baik di dunia Arab
maupun internasional, telah
bersepakat menyatakan
keharaman asuransi jenis ini.
Kecuali beberapa gelintir ulama
saja yang membolehkan dengan
alasan keamanan harta benda.
Berikut ini beberapa
argumentasi yang disebutkan
oleh Hai`ah Kibarul Ulama pada
ketetapan mereka no. 55
tanggal 4/4/1397 H, tentang
pengharaman asuransi bisnis di
atas:
1. Asuransi bisnis termasuk
pertukaran harta yang
berspekulasi tinggi dengan
tingkat pertaruhan yang sangat
parah. Sebab, pihak nasabah
tidak tahu berapa nominal yang
akan dia berikan nanti dan
berapa pula nominal yang bakal
dia terima. Bisa jadi, dia baru
menyetor sekali atau dua kali,
lalu terjadi musibah sehingga dia
menerima nominal (nilai
pertanggungan) yang sangat
besar sesuai dengan
kejadiannya. Namun mungkin
pula dia menyetor terus
menerus dan tidak terjadi apa-
apa, sehingga perusahaan
asuransi meraup keuntungan
besar. Padahal Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
melarang sistem jual beli gharar
(yang mengandung unsur
pertaruhan).
2. Asuransi bisnis termasuk salah
satu jenis perjudian, dan
termasuk dalam keumuman
firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنَّمَا
الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنصَابُ
وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ
الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamr,
berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kalian
mendapat keberuntungan.” (Al-
Ma`idah: 90)
3. Asuransi ini mengandung riba
fadhl dan riba nasi`ah.
Rinciannya sebagai berikut:
 Bila lembaga asuransi
memberikan kepada
tertanggung atau ahli waris
yang bersangkutan melebihi
nominal yang disetorkan, maka
ini adalah riba fadhl.
 Bila lembaga asuransi
menyerahkannya setelah waktu
yang berselang lama dari akad,
maka ia juga terjatuh dalam
riba nasi`ah.
 Namun bila perusahaan
tersebut menyerahkan nominal
yang sama dengan jumlah
setoran nasabah, tetapi setelah
selang waktu yang lama, maka
dia terjatuh dalam riba nasi`ah
saja.
Kedua jenis riba di atas adalah
haram dengan nash dalil dan
kesepakatan ulama.
4. Asuransi ini termasuk jenis
pegadaian/perlombaan yang
diharamkan, karena mengandung
pertaruhan, perjudian, dan
penuh spekulasi. Pihak
tertanggung memasang
pertaruhan dengan setoran-
setoran yang intensif,
sedangkan pihak lembaga
asuransi pertaruhannya dengan
menyiapkan ganti rugi. Siapa
yang beruntung maka dia yang
mengambil pertaruhan pihak lain.
Mungkin terjadi musibah dan
mungkin saja selamat darinya.
5. Asuransi ini mengandung
upaya memakan harta orang
lain dengan cara kebatilan. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ
تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian saling memakan
harta sesama kalian dengan
jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di
antara kalian.” (An-Nisa`: 29)
6. Dalam asuransi ini terdapat
tindakan mengharuskan sesuatu
yang tidak ada keharusannya
secara syariat. Pihak lembaga
asuransi diharuskan membayar
semua kerugian yang dialami
pihak nasabah, padahal musibah
itu tidak berasal dari lembaga
asuransi tersebut atau
disebabkan olehnya. Dia hanya
melakukan akad asuransi
dengan pihak nasabah, dengan
jaminan ganti rugi yang
diperkirakan terjadi, dengan
mendapatkan nominal yang
disetorkan pihak nasabah.
Tindakan ini adalah haram.
Kemudian para ulama tersebut
membantah satu per satu
argumentasi pihak yang
membolehkan asuransi ini
dengan uraian yang panjang
lebar, yang dibukukan dalam
Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah
(15/275-287, juga 15/246-248).
Lihat juga dalam Syarhul
Buyu’ (hal. 38-39).
Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adni
hafizhahullah menjelaskan bahwa
system asuransi jenis ini awal
mulanya bersumber dari Zionis
Yahudi di Amerika. Dan ketika
melakukan penjajahan terhadap
wilayah-wilayah Islam, mereka
memasukkan aturan ini ke
tengah-tengah kaum muslimin.
Semenjak itulah asuransi ini
tersebar dengan beragam jenis
dan modus. Wallahul musta’an
.
Fatwa Ulama Seputar Asuransi
Al-Lajnah Ad-Da`imah pernah
ditanya tentang beragam jenis
asuransi dengan soal yang
terperinci. Berikut ini
pertanyaannya secara ringkas:
“Ada yang meminta fatwa
tentang jenis asuransi berikut:
1. Asuransi barang ekspor impor
(pengiriman barang): per tahun
atau setiap kali mengirim barang
dengan jaminan ganti rugi
kerusakan kargo laut, darat
ataupun udara.
2. Asuransi mobil (kendaraan)
dengan beragam jenis dan
mereknya: Disesuaikan dengan
jenis mobil, penggunaannya
sesuai permintaan, dengan
jaminan ganti rugi semua
kecelakaan, baik tabrakan,
terbakar, dicuri, atau yang lain.
Juga ganti rugi untuk pihak
nasabah yang mengalami
musibah dan atau kecelakaan
yang ada.
3. Asuransi ekspedisi darat:
Untuk pengiriman dalam dan luar
negeri dengan setoran intensif
tahunan per ekspedisi, dengan
ganti rugi total bila terjadi
musibah.
4. Asuransi harta benda: Seperti
ruko, pertokoan, pabrik,
perusahaan, perumahan, dan
sebagainya, dengan ganti rugi
total bila terjadi kebakaran,
pencurian, banjir besar, dll.
5. Asuransi barang berharga:
Seperti cek, surat-surat
penting, mata uang, permata,
dsb, dengan ganti rugi total bila
terjadi perampokan/pencurian.
6. Asuransi rumah dan villa/hotel.
7. Asuransi proyek, baik proyek
pembangunan ataupun pabrik
dan semua jenis proyek.
8. Asuransi tata kota.
9. Asuransi tenaga kerja.
10. Asuransi jiwa atau
kejadiankejadian pribadi seperti
asuransi kesehatan (askes) dan
pengobatan.
Itu semua dengan menyetor
uang secara intensif dengan
nominal yang disepakati
bersama.”
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab
bahwa semua jenis asuransi
dengan system di atas adalah
haram, dengan argumentasi
yang telah disebutkan di atas.
Ketua: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin
Baz, Wakil: Asy-Syaikh
Abdurrazzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh
Abdullah bin Qu’ud. (Fatawa Al-
Lajnah, 15/243-248)
Masalah 1: Bolehkah asuransi
masjid?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab
(15/258-259):
“Asuransi bisnis adalah haram,
baik itu asuransi jiwa, barang,
mobil, tanah/rumah, walaupun
itu adalah masjid atau tanah
wakaf. Karena mengandung
unsur jahalah (ketidaktahuan),
pertaruhan, perjudian, riba, dan
larangan-larangan syar’i
lainnya.”
Ketua: Asy-Syaikh Ibnu baz,
Wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq
‘Afifi, Anggota: Asy-Syaikh Ibnu
Qu’ud dan Asy-Syaikh Ibnu
Ghudayyan.
Masalah 2: Askes (Asuransi
Kesehatan)
Al-Lajnah Ad-Da`imah pernah
ditanya tentang asuransi
kesehatan dengan system
berikut:
1. Asuransi pengobatan
Ketentuannya, pihak yang ikut
serta dalam program kesehatan
tersebut menyerahkan nominal
tertentu yang disepakati
bersama, dan dia akan
mendapatkan pelayanan serta
diskon berikut:
a. Pemeriksaan kesehatan
selama menjadi anggota
maksimal 3 kali sebulan
b. Diskon 5% untuk pembelian
obat
c. Diskon 15% untuk operasi di
salah satu rumah sakit tertentu
d. Diskon 20% untuk tes
kesehatan dan pelayanan
apotek
e. Diskon 5% untuk pemasangan
gigi.
Nominal setoran 580 real Saudi,
dan bila anggota keluarga ikut
semua maka setoran per kepala
475 real Saudi.
2. Asuransi kehamilan dan
kelahiran
Cukup dengan membayar 800
real Saudi selama masa
kehamilan, dengan pelayanan
sbb:
a. Pemeriksaan kesehatan sejak
awal kehamilan hingga
melahirkan, 2-3 kali dalam
sebulan. Khusus bulan terakhir
dari kehamilan, pemeriksaan
sekali sepekan.
b. Pemeriksaan gratis 2 kali di
rumah setelah melahirkan.
c. Si bayi mendapatkan kartu
pengobatan gratis selama
setahun.
3. Asuransi anak sehat
Setorannya 490 real per tahun,
dengan pelayanan:
a. Pemeriksaan bayi selama
setahun sampai 3 kali dalam
sebulan.
b. Diskon 20% untuk UGD dan
operasi kecil.
c. Diskon 15% untuk operasi
besar di salah satu rumah sakit
tertentu.
Jawaban Al-Lajnah Ad-Da`imah
(15/272-274):
Program ini termasuk jenis
asuransi kesehatan yang
berafiliasi bisnis, dan itu adalah
haram karena termasuk akad
perjudian dan pertaruhan.
Nominal yang diserahkan
nasabah untuk mendapatkan
pelayanan berdiskon selama
setahun, lebih atau kurang,
terkadang tidak dia manfaatkan
sama sekali karena dia tidak
membutuhkan pelayanan di klinik
tersebut selama jangka waktu
itu. Sehingga dia rugi dengan
jumlah nominal tersebut. Yang
untung adalah pihak klinik.
Terkadang pula dia mengambil
faedah besar yang berlipat
ganda dari nominal yang dia
serahkan, sehingga dia untung
dan kliniknya rugi…
Program ini adalah perjudian
yang diharamkan dengan nash
Al-Qur`an. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا إِنَّمَا
الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ
وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ
الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamr,
berjudi, (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan
panah, adalah perbuatan keji
termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kalian
mendapat keberuntungan.” (Al-
Ma`idah: 90)
Ketua: Asy-Syaikh Ibnu Baz,
Anggota: Asy-Syaikh Bakr Abu
Zaid, Asy-Syaikh Abdul Aziz
Alusy Syaikh, Asy-Syaikh Shalih
Fauzan, dan Asy-Syaikh Abdullah
bin Ghudayyan.
Masalah 3: Apa hukumnya
bekerja di lembaga asuransi
bisnis?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab
(15/251, lihat pula 15/262-264):
Tidak diperbolehkan bagi
seorang muslim untuk bekerja di
perusahaan asuransi sebagai
sekretaris ataupun lainnya.
Sebab bekerja di situ termasuk
ta’awun (kerjasama) di atas
dosa dan permusuhan, dan ini
dilarang oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam firman-Nya:
وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ
وَالْعُدْوَانِ
“Dan janganlah kalian tolong-
menolong dalam berbuat dosa
dan pelanggaran.” (Al-Ma`idah:
2)
Ketua: Asy-Syaikh Ibn Baz, Wakil:
Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi,
Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin
Qu’ud dan Asy-Syaikh Abdullah
bin Ghudayyan.
Masalah 4: Bila uang ganti rugi
dari lembaga asuransi telah
diterima, apa yang harus
dilakukan?
Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab
(15/260-261):
Adapun harta yang telah
diterima dari hasil akad asuransi
bisnis, bila dia menerimanya
karena tidak tahu hukumnya
secara syari’i, maka tidak ada
dosa baginya. Namun dia tidak
boleh mengulangi lagi akad
asuransi tersebut. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ
فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ
وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ
فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ
فِيْهَا خَالِدُوْنَ
“Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari
Rabbnya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka
baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada
Allah. Orang yang mengulangi
(mengambil riba), maka orang
itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di
dalamnya.” (Al-Baqarah: 275)
Tetapi bila dia menerimanya
setelah tahu hukumnya, dia
wajib bertaubat kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan
taubat nasuha, dan
mensedekahkan keuntungan
tersebut.
Ketua: Asy-Syaikh Ibn Baz,
Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin
Qu’ud.
Ketika menjawab pertanyaan
senada (15/260) Al-Lajnah Ad-
Da`imah menyatakan: “Pihak
nasabah boleh mengambil
nominal uang yang pernah dia
setorkan ke lembaga asuransi.
Sedangkan sisanya dia
sedekahkan untuk para faqir
miskin, atau dia belanjakan
untuk sisi-sisi kebajikan lainnya
dan dia harus lepas/keluar dari
lembaga asuransi.”
Syaikhuna Abdurrahman Al-‘Adni
hafizhahullah menjelaskan: “Bila
para pelaku usaha dan
hartawan dipaksa untuk
bermuamalah dengan
lembagalembaga asuransi oleh
pihak-pihak yang tidak mungkin
bagi mereka untuk
menghadapinya atau menolak
permintaannya, sehingga mereka
menyetor dan bermuamalah
dengan lembaga tersebut.
Dosanya ditanggung oleh pihak
yang memaksa. Namun ketika
terjadi musibah, mereka tidak
boleh menerima kecuali nominal
yang telah mereka
setorkan.” (Syarhul Buyu’ hal
39, pada catatan kaki).
Demikian uraian tentang masalah
asuransi. Semoga bermanfaat.
Wallahul muwaffiq.
Silahkan mengcopy dan
memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan
sumbernya yaitu :

Majalah Asy Syari'ah Online